25 Bab 3 Analisis Data 3.1 Analisis Kecemasan Sosok Akutagawa

Bab 3
Analisis Data
3.1
Analisis Kecemasan Sosok Akutagawa Ryūnosuke yang Tersirat Pada
Tokoh Naigu Dalam Cerpen Hana
Dalam subbab ini, saya akan menceritakan tentang tokoh Naigu, teori pengkajian
fiksi yang dipergunakan dalam cerpen Hana dan teori psikoanalisis Sigmund Freud yang
digunakan dalam menganalisis kecemasan sosok Akutagawa Ryūnosuke.
Dalam cerpen Hana diceritakan kisah seorang pendeta Budha yang memiliki hidung
panjang sekitar enam belas sentimeter yang bernama Zenchi Naigu. Selama ini keadaan
batin Naigu sangat tersiksa karena keadaan hidungnya. Dia sangat iri dengan orang lain
yang berhidung normal, maka dia mengupayakan segala cara untuk memendekkan
hidungnya. Setelah berhasil memendekkan hidungnya, dia malah tidak merasa puas
karena hidungnya yang pendek tersebut selalu ditertawakan orang lain. Dia sangat
menyesal dengan apa yang telah dilakukannya pada hidungnya. Pada suatu hari ketika
dia bangun, hidungnya kembali memanjang seperti semula. Bersamaan itu entah dari
mana, perasaan lega memenuhi perasaannya.
Berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud (Semiun, 2006), saya akan
menganalisis kecemasan yang disublimasikan Akutagawa Ryūnosuke pada tokoh Naigu.
Freud dalam Semiun (2006) mengilustrasikan kecemasan adalah suatu keadaan perasaan
afektif yang tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang
memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang. Sublimasi adalah dorongandorongan yang tidak dibenarkan oleh superego tetapi dilakukan juga dalam bentuk yang
lebih sesuai dengan tuntutan masyarakat.
25
Menurut analisis saya berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud, keadaan batin
tokoh Naigu yang tersiksa menggambarkan keadaan batin Akutagawa Ryūnosuke.
Keadaan batin Akutagawa yang tersirat dalam sosok Naigu merupakan gambaran
kecemasan neurotik dan kecemasan realistik.
Freud dalam Yusuf dan Nurihsan (2007 : 51) menjelaskan bahwa kecemasan muncul
akibat dari persaingan antar ketiga sistem (id, ego dan superego) dalam proses
pendistribusian energi yang menyebabkan ego membentuk mekanisme pertahanan. Oleh
karena itu, saya akan membahas tentang id, ego dan superego pada tokoh Naigu yang
merupakan sublimasi dari id, ego dan superego Akutagawa Ryūnosuke walaupun yang
akan saya lebih tekankan dalam analisis data ini adalah analisis kecemasan Akutagawa
yang disublimasikan pada tokoh Naigu.
Berdasarkan cerita dalam cerpen Hana, saya menganalisis bahwa dorongan id yang
terdapat pada tokoh Naigu adalah keinginan dia untuk memiliki hidung pendek karena
dia tidak mau menerima kenyataan bahwa hidungnya lebih panjang dari orang lain.
Dorongan id dari tokoh Naigu menyebabkan dia mengupayakan segala cara agar
hidungnya menjadi pendek. Dalam diri Akutagawa, dorongan id-nya membuatnya
mencari objek lain untuk memenuhi rasa haus kasih sayangnya yaitu melalui orang tua
asuhnya walaupun dia tidak mendapatkan kepuasaan yang sebenarnya karena sampai
ajalnya menjelang, Akutagawa masih memikirkan tentang ibunya yang menderita
penyakit kejiwaan.
Ego Naigu memperlihatkan bahwa dia harus menyediakan kenyataan objektifnya
dengan melakukan sesuatu untuk dapat memendekkan hidungnya. Maka dia melakukan
berbagai cara dalam proses pemendekkan hidungnya seperti mencoba minum rebusan
labu air, juga pernah mengolesi hidungnya dengan air kencing tikus. Bahkan yang paling
26
ekstrim dilakukannya adalah mencelupkan hidungnya ke dalam air panas kemudian
membiarkan hidungnya diinjak-injak muridnya. Berdasarkan ego dalam tokoh Naigu,
tergambarkan bahwa ego Akutagawa juga mengupayakan pemenuhan dorongan id
dengan mencari objek luar sebagai pemuasannya. Dalam hal ini, ego dalam diri
Akutagawa mengupayakan pengganti yaitu orang tua asuhnya sebagai tempat
mendapatkan curahan kasih sayang.
Dalam tokoh Naigu, saya menganalisis bahwa superegonya tergambarkan pada waktu
Naigu merasa tidak pantas memikirkan keadaan hidungnya terus menerus karena dia
adalah seorang pendeta kepala. Apalagi ditambah keinginan dia untuk masuk surga. Dia
juga tidak boleh memikirkan kritikan-kritikan orang lain tentang hidungnya. Dalam diri
Akutagawa, superegonya melarang dia memikirkan terus keadaan batinnya. Dia masih
mempunyai orangtua asuh yang menyayanginya. Kalau terus memikirkan keadaan
batinnya, sama saja dia tidak menghargai perhatian dan kasih sayang yang telah
diberikan orangtua asuhnya. Berdasarkan norma dalam masyarakat, hal itu tidak
diperbolehkan karena tindakan itu sama saja tidak menghormati dan menghargai
pengorbanan orang tuanya yang telah merawatnya selama hidupnya. Disamping itu,
Akutagawa juga mendapatkan banyak kritikan, baik dari teman-temannya dan
sastrawan-sastrawan lain pada saat dia meluncurkan karyanya Rashomon pada tahun
1915, setahun sebelum karya Hana terbit pada tahun 1916. Superego dalam diri
Akutagawa melarangnya menyampaikan kritikan langsung kepada para kritikus tersebut.
Maka kritikan tersebut dia sublimasikan dalam permikiran tokoh Naigu sebagai pendeta
kepala yang akan saya terangkan dalam analisis kecemasan realistik di subbab
berikutnya.
27
Pada masa kecilnya, Akutagawa telah mengalami penderitaan batin dikarenakan tidak
pernah mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Penderitaan batinnya semakin
mendalam dikarenakan juga ketakutan Akutagawa menjadi gila seperti almahum ibunya,
Fuku. Saya melihat melalui sosok Naigu, Akutagawa mengekpresikan keinginannya
mempunyai orang tua normal dimana dia bisa mendapatkan curahan kasih sayang seperti
orang tua orang lain. Tersirat perasaan batin Akutagawa dimana seandainya dia dapat
merubah takdir hidupnya agar memiliki orang tua yang sayang padanya. Penjelasan
lebih lanjutnya akan saya terangkan melalui analisis dalam kutipan cerpen Hana di
subbab berikutnya.
Bagan 3.1
Id, Ego dan Superego
Id dan superego Naigu
Ego Naigu
Id Naigu menginginkan hidungnya
pendek seperti orang normal karena
hidung panjangnya sangat merepotkan
baginya.
Superego
Naigu
melarang
dia
memikirkan terus keadaan hidungnya
karena sebagai pendeta kepala, dia
tidak pantas memikirkan hal duniawi.
Tuntutan id membuat ego Naigu
mencari
berbagai
cara
untuk
memendekkan hidungnya.
Superego Naigu membenarkan bahwa
keinginannya untuk memiliki hidung
pendek tidaklah salah karena setiap
orang mempunyai hidung pendek yang
normal.
Id dan superego Akutagawa
Ego Akutagawa
Id Akutagawa menginginkan curahan
kasih sayang dari orangtuanya.
Superego Akutagawa melarangnya
memikirkan terus keadaan batinnya
yang
terluka
karena
orangtua
kandungnya tidak sayang padanya
karena orangtua asuhnya sebaliknya.
Tuntutan id membuat ego Akutagawa
mencari objek lain yaitu orangtua
asuhnya sebagai tempat mendapat
curahan kasih sayang.
Karena larangan superego, maka dia
menyampaikan
kritikan
melalui
pemikiran tokoh Naigu sebagai pendeta
kepala tentang hati manusia.
Sublimasi
28
Berdasarkan teori pengkajian fiksi (Nurgiyantoro, 2007) dalam cerpen Hana,
Akutagawa Ryūnosuke sebagai narator mengambil sudut pandang persona ketiga, gaya
“dia”. Dimana Akutagawa sebagai narator yang berada di luar cerita. Berdasarkan
tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang, dalam cerpen Hana terlihat bahwa
Akutagawa menggunakan sudut pandang “dia” terbatas atau “dia” sebagai pengamat.
Hal tersebut dapat dilihat dari pengisahan tokoh yang sangat tertuju pada seorang tokoh
pendeta Budha yang bernama Naigu. Dimana Akutagawa hanya melukiskan apa yang
dilihat, didengar, dialami, dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh tersebut.
3.1.1
Analisis Kecemasan Neurotik Berdasarkan Psikoanalisis Sigmund Freud
Kecemasan neurotik adalah ketakutan terhadap suatu bahaya yang tidak diketahui.
Menurut Freud dalam Semiun (2007) kecemasan neurotik disebabkan ketergantungan
ego pada id. Di bawah ini, saya akan menganalisis beberapa kutipan dari cerpen Hana
yang merupakan sublimasi kecemasan neurotik yang dialami Akutagawa.
Zenchi Naigu yang memiliki hidung sepanjang enam belas sentimeter, sebenarnya
merasa tersiksa batinnya. Sampai dia cemas akan perkataan orang lain tentang
hidungnya.
五十歳を越えた内供は、沙弥の昔から、内道場供奉の職に陞った今日ま
で、内心では始終この鼻を苦に病んで来た。もちろん表面では、今でも
さほど気にならないような顔をしてすましている〔鼻:8〕。
Naigu telah berusia 50 tahun. Sejak dia menjadi calon pendeta hingga menjadi
pendeta kepala, batinnya tersiksa karena keadaan hidungnya. Tentu saja,
kesedihannya tidak dia tampakkan pada roman mukannya (Hana : 8).
Kecemasan dalam diri Naigu membuat batinnya tersiksa dan dia sangat takut akan
pembicaraan orang lain tentang keadaan hidungnya, sampai akhirnya dia menggunakan
29
berbagai cara untuk memendekkan hidungnya tersebut seperti yang tergambarkan pada
kutipan di bawah ini.
内供がこういう消極的な苦心をしながらも、一方ではまた、積極的に鼻
の短くなる方法を試みた事は、わざわざここにいうまでもない。内供は
この方面でもほとんどできるだけの事をした。烏瓜を煎じて飲んで見た
事もある。鼠の尿を鼻へなすって見た事もある。しかし何をどうしても、
鼻は依然として、五六寸の長さをぶらりと唇の上にぶら上げているでは
ないか〔鼻:12〕。
Naigu tidak hanya pasif dalam berusaha, di lain pihak dia dengan sengaja secara
aktif mencoba berbagai cara untuk memendekkan hidungnya. Naigu sedapat
mungkin berusaha melakukan hal itu. Dia pernah mencoba minum rebusan air
labu, juga pernah mengolesi hidungnya dengan air kencing tikus. Tetapi
semuanya sia-sia, hidungnya tetap menjuntai dari atas bibir kurang lebih sekitar
enam belas sentimeter seperti semula (Hana : 12).
Karena berbagai cara yang dilakukan Naigu seperti yang tertulis dalam kutipan di
atas tidak ada yang berhasil, maka dia melakukan cara yang ekstrim yaitu dengan
merebus hidungnya.
その法というのは、ただ、湯で鼻を茹でて、その鼻を人に踏ませるとい
う、極めて簡単なものであった。湯は寺の湯室で、毎日沸かしている。
…鼻は熱湯に蒸されて、蚤の食ったようにむず痒い。弟子の僧は、内供
が折敷の穴から鼻をめくと、そのまだ湯気の立っている鼻を、面足に力
を入れながら、踏みはじめた〔鼻:13-14〕。
Caranya sangat sederhana, yaitu dengan mencelupakan hidungnya ke dalam air
panas, kemudian diinjak-injak dengan kaki. Setiap hari murid-murid Naigu
merebus air di permandian kuil....Setelah hidungnya direbus, hidung itu terasa
gatal seperti digigit kutu. Kemudian dengan sekuat tenaga, murid-muridnya
mulai menginjak-injak hidung Naigu yang masih mengepulkan asap karena baru
saja dikeluarkan dari lubang baki (Hana : 13-14).
Dalam kutipan-kutipan di atas, saya melihat bahwa keadaan batin Naigu yang tidak
ditampakkan pada roman mukannya merupakan gambaran dari keadaan batin yang
30
disublimasikan Akutagawa Ryūnosuke. Berbagai usaha yang dilakukan Naigu dalam
memendekkan hidungnya merupakan cara Naigu untuk melepaskan diri dari perasaan
batinnya yang tersiksa (kecemasan) karena keadaan hidungnya. Akutagawa memiliki
perasaan cemas yang sama seperti Naigu yaitu sudah sejak lama merasa tersiksa akan
keadaan batinnya. Dalam hal ini, Akutagawa mengalami kecemasan neurotik.
Dalam kecemasan neurotik, terlihat bahwa Akutagawa takut akan menjadi gila
seperti almahum ibunya. Kecemasan neurotik tersebut telah muncul dalam
ketidaksadaran, dimulai dari masa kecil Akutagawa ketika melihat ibunya yang gila
seperti yang dia tuliskan dalam cerita otobiografinya, Tenkibo (1926), sebagai berikut:
My mother was a madwoman. I never did feel close to her, as a son should feel
toward his mother. Hair held in place by a comb, she would sit alone all day
puffing on a long, skinny pipe in the house of my birth family in Tokyo’s Shiba
Ward. She had a tiny face on a tiny body, and that face of hers, for some reason,
was always ashen and lifeless….And so I never had the experience of a mother’s
care. I do seem to recall that one time, when my adoptive mother made a point of
taking me upstairs to see her, she suddenly conked me on the head with her pipe.
In general, though, she was quiet lunatic (Rubin, 2006 : 180).
Ibuku sakit jiwa. Satu kali pun aku tidak pernah merasa akrab dengan dia sebagai
seorang ibu. Rambutnya digelung dengan sisir dan selalu duduk menyendiri di
rumah keluarga di Shiba, Tokyo sambil merokok menggunakan pipa panjang.
Wajah maupun tubuhnya mungil. Entah kenapa wajahnya kelihatan pucat, tanpa
semangat hidup....Dan dia tidak pernah merawatku. Aku ingat suatu kali, ketika
disuruh ibu asuhku naik ke lantai dua untuk memberi salam padanya, namun
tiba-tiba dia memukul kepalaku dengan pipa rokoknya yang panjang. Namun,
seperti biasa dia sangat tenang meskipun gila (Rubin, 2006 : 180).
Akutagawa pada masa kecilnya sangat mengharapkan mendapat kasih sayang dari
orangtuanya terutama ibunya. Seperti yang tertulis pada kutipan Tenkibo, bahwa ketika
Akutagawa mencoba mendekati ibunya hanya sekedar untuk memberikan salam,
malahan mendapat penolakan dan perlakuan kasar dari ibunya. Karena itu Akutagawa
melihat ibunya sebagai seorang gila. Dalam surat terakhir yang dia tujukan kepada
temannya Akutagawa menuliskan, “Tetapi saya melihat bahwa saya pada dasarnya
31
adalah anak seorang gila. Sekarang saya merasa muak terhadap dunia, terutama terhadap
diri sendiri.” (Wibawarta, 2004 : 14). Saya menganalisis bahwa dalam ketidaksadaran
pada masa kecilnya dalam diri Akutagawa, telah berkembang kecemasan neurotik yang
pada akhirnya kecemasan tersebut ikut mempengaruhinya melakukan tindakan bunuh
diri di rumahnya karena dia tidak kuat lagi menahan perasaan batinnya yang tersiksa.
Dalam rangkaian cerita otobiografi Akutagawa yang berjudul Daidōji Shinsuke no
Hansei (Masa Muda Daidōji Shinsuke, 1924) pada subjudul “Susu Sapi”, Akutagawa
menceritakan kehidupan masa kecilnya yang tidak pernah merasakan ASI dari ibunya
melalui tokoh Shinsuke.
Shinsuke was a boy who had never sucked his mother’s milk….And he envied his
friends: they might know nothing else, but at least they knew their mother’s milk
(Rubin, 2006 : 149).
Shinsuke adalah anak laki-laki yang tidak pernah merasakan menyusu dari
ibunya….Dan dia merasa iri hati dengan teman-temannya: yang tanpa mereka
sadari, mereka pernah merasakan ASI dari ibu mereka masing-masing (Rubin,
2006 : 149).
Dalam kutipan otobiografi di atas, Akutagawa menggambarkan perasaan iri hatinya
terhadap teman-temannya karena dia tidak pernah merasakan ASI ibunya seperti temantemannya. Dalam kutipan tersebut, tergambarkan secara tidak langsung keadaan ibunya
yang tidak mampu untuk menyusuinya. Dengan kata lain, sejak lahir ke dunia ini
Akutagawa tidak pernah merasakan sama sekali belaian kasih sayang dari seorang ibu.
Sosok seorang ayah seharusnya menjadi sosok panutan bagi anak laki-laki. Demikian
juga bagi Akutagawa, sosok ayahnya seharusnya menjadi panutan dan tempat mendapat
curahan kasih sayang karena dilain pihak ibunya menderita penyakit jiwa dan tidak
dapat merawatnya. Tetapi bukanlah perhatian dari ayahnya yang dia dapat melainkan
secara tidak langsung, Akutagawa dibuang oleh keluarganya karena kelahirannya
32
dianggap sebagai pembawa sial dan penyebab penyakit kegilaan ibunya juga dianggap
dari dampak kesialan atas kelahirannya. Akhirnya Akutagawa diasuh oleh kakak ibunya,
Akutagawa Michiaki.
Menurut analisis saya, penolakan dari keluarganya juga merupakan penyebab
timbulnya kecemasan neurotik dalam diri Akutagawa walaupun ayahnya, Niihara
Toshizō pernah merayu agar Akutagawa kembali ke keluarga kandungnya tetapi dia
tidak berhasil karena Akutagawa sudah sangat menyayangi orangtua asuhnya seperti
yang tertulis dalam otobiografinya yang berjudul Tenkibo (1926), sebagai berikut:
When I was very young, my father would try to entice me back from my adoptive
family by plying me with these rare treats. I remember how he once openly
tempted me into running away while feeding me ice cream in the Uoei restaurant
in Omori. At times like this he could be a smooth talker and exude charm.
Unfortunately for him, though, his enticements never worked. This was because I
loved my adoptive family too much—and especially my mother’s elder sister,
Aunt Fuki (Rubin, 2006 : 183).
Ketika aku masih sangat muda, ayahku pernah mencoba merayuku untuk
kembali kepadanya dengan cara memperlakukanku dengan menyenangkan. Aku
ingat bagaimana ayahku membujukku ketika kami sedang jalan-jalan
bersama.dengan memberikan es krim di restoran Uoei, Omori. Pada waktu itu,
dia menjadi orang yang baik dan menyenangkan. Tetapi dia tidak beruntung
karena rayuannya tidak berhasil. Karena aku sangat menyayangi orangtua
asuhku—terutama kakak ibuku, bibi Fuki (Rubin, 2006 : 183).
Freud dalam Semiun (2006) mengemukakan dorongan-dorongan keinginan masa
kanak-kanak tetap tidak berubah dalam id selama bertahun-tahun. Berdasarkan konsep
tersebut, menurut hasil analisis saya, faktor-faktor penyebab munculnya kecemasan
neurotik yang merupakan ketergantungan ego pada id dalam diri Akutagawa dapat
disebabkan oleh ketakutan Akutagawa mendekati ibunya menyebabkan dia kehilangan
objek mendapatkan curahan kasih sayang. Dorongan id-nya adalah kebutuhan
mendapatkan curahan kasih sayang dari ibunya. Dalam ketidaksadaran tumbuhlah
ketakutan menjadi gila seperti ibunya tanpa dia sadari. Selain itu, penolakan keluarganya
33
yang secara tidak langsung membuang dia karena dianggap sebagai pembawa sial,
menjadikannya merasa bahwa keluarganya tidak ada yang membutuhkan dia. Dari mana
dia harus memenuhi rasa haus kasih sayang dari dorongan id-nya. Akhirnya dia
mendapatkannya dari orangtua asuhnya. Tetapi kesedihan karena penolakan keluarganya
direpresi dan tinggal dalam ketidaksadaran.
Dalam kutipan dibawah ini, Akutagawa menggambarkan melalui perasaan Naigu
bahwa dia merasa pasrah akan keadaan batinnya.
――けれどもこれは内供にとって,決して鼻を苦に病んだ重な理由では
ない。内供は実にこの鼻によって偒つけられる自尊心のために苦しんだ
のである。…しかし自分でも満足するほど、鼻が短く見えた事は、これ
までにただの一度もない。時によると、苦心すればするほど、かえって
長く見えるような気さえした。内供は、こういう時には鏡を箱へしまい
ながら、今さらのようにため息をついて、不承不承にまた元の経机へ、
観音経をよみに帰るのである〔鼻:9-10〕。
Meskipun begitu tidak ada alasan bagi Naigu untuk merasa sedih dengan
keadaan hidungnya. Walaupun sebenarnya batinnya sangat tersiksa karena
keadaan hidungnya....Tetapi hingga sekarang, tidak sekalipun Naigu merasakan
kepuasan karena hidungnya tidak pernah memendek. Malahan terkadang
hidungnya terlihat semakin bertambah panjang. Pada saat seperti ini, sambil
meletakkan cermin kembali ke kotak, Naigu mengeluh dan dengan berat hati dia
kembali ke meja membaca kitab Kan On (Hana : 9).
Saya melihat bahwa keadaan pasrahnya Naigu sampai memunculkan kekhawatiran
bahwa hidungnya semakin bertambah panjang merupakan penyampaian tentang keadaan
pasrahnya Akutagawa bahwa dia memang anak seorang gila yang lama kelamaan
Akutagawa juga merasa akan gila seperti almahum ibunya. Dalam mengurangi rasa
kecemasan neurotiknya, Akutagawa melakukan mekanisme pertahanan ego yaitu represi.
Represi adalah cara ego memaksa perasaan yang tidak dikehendaki masuk ke dalam
34
ketidaksadaran. Akutagawa merepresi perasaannya yang tidak dapat menerima dirinya
seorang anak gila ke dalam ketidaksadaran.
Dari luar Akutagawa terlihat dengan pasrah menerima keadaannya yang berbeda
dengan orang lain yang mempunyai orangtua normal, tetapi batinnya sangat tersiksa
akan keadaannya tersebut. Dalam kutipan tersebut, Akutagawa seakan hendak
mengatakan bahwa betapa sulitnya melepaskan label atau cap yang telah melekat pada
diri seseorang. Seakan dia hendak mengatakan keadaan dirinya, walaupun dia
merupakan seorang sastrawan terkenal di Jepang di mata orang lain dan di dalam dirinya
sendiri, dia tetap lahir dari seorang gila.
Saya menyimpulkan bahwa sampai penciptaan karya Hana, Akutagawa masih dapat
merepresi perasaannya karena dia masih mempunyai orang tua asuh yang
menyanyanginya. Id-nya yang menginginkan kasih sayang mendapatkannya dari objek
lain sebagai pengganti orang tuanya yaitu orang tua asuhnya. Dan superegonya
membenarkan bahwa dia masih memiliki orang tua asuh dan hal itu sesuai tuntutan
norma-norma moral. Dengan kata lain, kecemasan yang direpresi pada saat tersebut
masih kecil dan masih dapat ditahan dalam ketidaksadaran.
35
Bagan 3.1.1
Kecemasan Neurotik
Dorongan id dalam diri Naigu adalah
berusaha mendapatkan kepuasaan
agar hidungnya dapat memendek
walaupun menggunakan berbagai
cara.
Dorongan id dalam diri Akutagawa
adalah menemukan tempat curahan
kasih sayang yang tidak dia dapatkan
dalam keluarganya melalui orangtua
asuhnya.
Ego terlalu tergantung dengan dorongan dari id dan mengupayakan
usaha-usaha yang dapat memenuhi kebutuhan dari dorongan id.
Kecemasan Neurotik
3.1.2
Analisis Kecemasan Realistik Berdasarkan Psikoanalisis Sigmund Freud
Kecemasan realistik adalah perasaan tidak menyenangkan dan tidak spesifik terhadap
suatu bahaya yang mungkin terjadi. Dengan kata lain, kecemasan realistik merupakan
rasa takut akan bahaya-bahaya nyata di dunia luar. Menurut Freud dalam Semiun (2007)
kecemasan realistik disebabkan ketergantungan ego pada dunia luar. Di bawah ini, saya
akan menganalisis beberapa kutipan dari cerpen Hana yang merupakan sublimasi
kecemasan realistik yang dialami Akutagawa.
Dalam kutipan di bawah ini, Akutagawa menggambarkan kecemasannya yang takut
akan pembicaraan orang lain akan keadaan batinnya dalam perasaan tokoh Naigu.
それよりむしろ、自分で鼻を気にしているという事を、人に知られるの
が嫌だったからである。内供は日常の談話の中に、鼻という話が出て来
るのを何よりも惧れていた〔鼻:8〕。
Lebih daripada itu, dia tidak menyukai orang lain mengetahui keadaan batinnya
berkaitan dengan masalah hidungnya. Naigu, paling cemas dengan segala
omongan tentang hidungnya dalam pembicaraan sehari-hari (Hana : 8).
36
Dalam penggambaran keadaan batin Naigu yang tidak ingin orang lain mengetahui
keadaan batinnya dan ketakutannya mendengar pembicaraan orang lain merupakan
sublimasi kecemasan realistik yang dialami Akutagawa. Saya melihat Akutagawa tidak
menginginkan orang lain mengetahui keadaan batinnya. Dalam rangkaian cerita
otobiografi Akutagawa yang berjudul Daidōji Shinsuke no Hansei (Masa Muda Daidōji
Shinsuke, 1924) pada subjudul “Susu Sapi”, Akutagawa menuliskan ketidakinginannya
bahwa orang lain mengetahui keadaan batinnya melalui sublimasi pada tokoh Shinsuke.
Shinsuke was ashamed both of the bottled cow milk and of the fact that he had
never tasted his mother’s milk. This was his secret—the lifelong secret that he
could never tell another soul and that carried with it a certain superstition
(Rubin, 2006 : 149).
Shinsuke malu melihat botol-botol susu sapi dan kenyataan bahwa dia tidak
pernah merasakan ASI ibunya. Hal itu menjadi rahasia—rahasia abadi yang tidak
pernah dia beritahukan pada siapapun dan menerima hal tersebut sebagai sebuah
ketidaknyataan (Rubin, 2006 : 149).
Melalui kutipan otobiografi di atas, Akutagawa hendak menyampaikan bahwa dia
tidak ingin teman-temannya tahu bahwa ibunya gila karena itu sejak bayi, dia tidak
pernah menyusu dari ibunya disebabkan keadaan ibunya yang tidak memungkinkan. Dia
hanya pernah minum susu dari botol tanpa tahu bagaimana rasanya belaian kasih sayang
seorang ibu ketika menyusui anaknya.
Melalui kutipan di atas, saya melihat bahwa Akutagawa merupakan orang yang
tertutup. Berdasarkan biografi Akutagawa yang saya dapatkan menuliskan bahwa
Akutagawa
hanya
berusaha
menaikan
popularitasnya
setelah
karya
Hana
mempopulerkan namanya. Hanya sampai waktu menjelang ajalnya, Akutagawa
menuliskan surat kepada temannya tentang kesehatannya. Setelah kematiannya, barulah
dia menuliskan surat tentang keadaan batinnya kepada temannya. Oleh karena itu, saya
menganggap bahwa Akutagawa merupakan orang yang tertutup.
37
Ketidakinginan Akutagawa agar orang lain mengetahui keadaan batinnya yang
sebenarnya, kemungkinan besar alasannya sama dengan perasaan Naigu yang takut akan
pembicaraan orang lain tentang hidungnya seperti kutipan di atas.
Sebagai pendeta, Naigu mendapatkan perhatian dan kritikan dari orang lain dalam
segala hal yang berhubungan dengannya. Seperti perkataan orang-orang di Ikeno O
(sebuah kampung di pinggiran Kota Kyoto).
中にはまた、あの鼻だから出家したのだろうと批評する者さえあった。
しかし内供は、自分が僧であるために、幾分でもこの鼻に煩わされる事
が少くなったと思っていない。内供の自尊心は、妻帯というような結果
的な事実に左右されるためには、余りにデリケイトにできていたのであ
る。そこで内供は、積極的にも消極的にも、この自尊心の毀損を恢復し
ようと試みた〔鼻:9-10〕。
Di antara orang-orang itu, ada pula yang mengatakan bahwa Naigu menjadi
pendeta karena hidungnya yang panjang. Naigu juga tidak pernah merasa tenang
dengan keadaan hidungnya walaupun dia seorang pendeta. Naigu sangat
memperhatikan persoalan hidupnya, misalnya masalah perkawinan. Oleh karena
itu, Naigu mencoba berbagai cara untuk mengembalikan kehormatannya (Hana :
9-10).
Dalam kutipan sama seperti Naigu, Akutagawa yang merupakan sastrawan terkenal
juga banyak mendapatkan dukungan maupun kritikan mengenai karya-karyanya.
Dalam hal ini, Akutagawa mengalami kecemasan realistik, dimana dia sangat
memperhatikan kekurangan atau kelemahan dari dirinya sendiri dengan berusaha
melakukan berbagai cara agar kelemahannya dapat tertutupi. Dalam mengurangi
kecemasannya, Akutagawa juga melakukan mekanisme pertahanan ego yaitu
kompensasi.
Kompensasi adalah usaha menutupi kelemahan di salah satu bidang atau organ
dengan membuat prestasi yang tinggi di organ lain atau bidang lain. Kompensasi yang
38
dilakukan Akutagawa adalah dengan berusaha dengan keras menjadikan dirinya
sastrawan terkenal dimulai dari masa kecilnya. Sejak kecil sampai dewasa dia telah
mempelajari karya-karya sastra dari Jepang, Cina, Rusia dan sebagainya. Dengan
mempelajari banyak karya sastra dari berbagai negara menuntunnya menciptakan karyakaryanya sendiri.
Pada tahun 1913, bersama beberapa teman kuliahnya, dia menghidupkan majalah
satra Shinshichō (Arus Pemikiran Baru). Dan Akutagawa mulai menerbitkan karyanya
dalam majalah tersebut. Sejak karyanya Rashomon terbit, namanya mulai dikenal dalam
dunia kesusastraan. Setelah itu, karyanya Hana mendapat pujian dari Natsume Sōseki
membuat namanya semakin menjelit dan mulai dilirik sebagai penulis muda oleh
majalah sastra pada zaman tersebut. Inilah kompensasi yang dilakukan Akutagawa.
Akutagawa mulai menciptakan berbagai karya termasuk karya Imogayu yang juga
mendapat pujian dari Natsume Sōseki sebelum sastrawan terkemuka ini meninggal.
Kepala pendeta Naigu menggambarkan keadaan hati manusia yang saling
bertentangan. Dalam penggambaran ini, Akutagawa menyampaikan kritikan tidak
langsung terhadap orang-orang yang iri hati atas keberhasilannya.
――人間の心には互に矛盾した二つの感情がある。もちろん、誰でも他
人の不幸に同情しない者はない。ところがその人がその不幸を、どうに
かして切りぬける事ができると、今度はこっちで何となく物足りないよ
うな心もちがする。少しい誇張していえば、もう一度その人を、同じ不
幸に陥れて見たいような気にさえなる〔鼻:19〕。
Dalam hati manusia terdapat dua hati yang saling bertentangan. Tentu saja tidak
ada orang yang tidak bersimpati terhadap nasib orang lain. Tetapi jika ada orang
yang ingin berusaha dalam mengatasi nasib buruknya, maka akan ada orang lain
yang tidak suka. Kalau sedikit dilebih-lebihkan, bahkan ada orang yang
menginginkan supaya orang yang bernasib malang itu tetap malang, bahkan
sampai ingin menjerumuskannya (Hana : 19).
39
Kutipan diatas, merupakan sublimasi dari kritikan tidak langsung Akutagawa kepada
orang-orang yang telah mengkritik karyanya Rashomon. Rashomon diterbitkan pada
tahun 1915 dan menempatkannya dalam deretan sastrawan yang mendapat perhatian
besar dan memiliki posisi tersendiri dalam dunia kesusastraan.
Rashomon muncul di majalah Teikoku Bungaku edisi November 1915. Temanteman Akutagawa mengkritik habis-habisan karyanya ini. Bahkan salah seorang
kritikus menulis surat kepadanya, menyarankan agar dia berhenti menulis.
Kritikan ini menyebabkan dia membuat berbagai perubahan dan menghilangkan
beberapa bagian cerita (Wibawarta, 2004 : 8).
Untuk mengurangi kecemasan realistik karena kritikan yang dia terima, Akutagawa
melakukan mekanisme pertahanan ego yaitu sublimasi. Karena superego menentang
untuk memberikan balasan kritikan secara langsung kepada orang yang mengkritiknya,
maka ego melakukan sublimasi. Dengan menyampaikan kritikan melalui karya sastranya
maka hal tersebut dapat diterima karena tidak menentang norma-norma dalam
masyarakat (superegonya).
40
Bagan 3.1.2
Kecemasan Realistik
Naigu takut akan pembicaraan orangorang tentang keadaan hidungnya.
Dia juga tidak mau orang lain tahu
bahwa dia paling takut mendengar
orang lain membicarakan keadaan
hidungnya dan kehidupannya.
Akutagawa
takut
orang
lain
mengetahui keadaan batinnya yang
tersiksa karena dia adalah anak dari
seorang gila. Dia juga takut akan
kritikan orang lain terhadap karyakaryanya dan dia mensublimasikan
kritikan tidak langsung terhadap
orang yang mengkritik karyanya
melalui pemikiran Naigu.
Ketergantung ego dari dunia luar menyebabkan ego
berupaya menahan dorongan-dorongan dari dunia luar
dengan melakukan mekanisme pertahanan ego.
Kecemasan realistik
Dampak dari kecemasan neurotik dan kecemasan realistik yang teranalisis dari
kutipan cerpen Hana adalah bahwa kecemasan-kecemasan tersebut telah muncul dalam
ketidaksadaran Akutagawa, dimana kecemasan-kecemasan tersebut terus berkembang.
3.2
Analisis Kecemasan Sosok Akutagawa Ryūnosuke yang Tersirat Pada
Tokoh “Aku” Dalam Cerpen Mikan
Dalam subbab ini, saya akan menceritakan tentang tokoh “Aku”, teori pengkajian
fiksi yang dipergunakan dalam cerpen Mikan dan teori psikoanalisis Sigmund Freud
yang digunakan dalam menganalisis dampak kecemasan sosok Akutagawa Ryūnosuke.
Cerpen Mikan menceritakan tentang seorang tokoh “Aku” yang sedang duduk di
gerbong kereta api kelas dua menuju Yokosuka yang sangat sepi penumpang. Tokoh
41
“Aku” merasa penat dan jenuh terhadap kehidupannya di dunia ini. Dalam gerbong
tersebut, tokoh “Aku” duduk berhadapan dengan seorang gadis kecil dari desa.
Selama perjalanan, tokoh “Aku” mengamati si gadis kecil tersebut. Gadis kecil
tersebut sangat buruk penampilannya. Entah kenapa, si gadis tersebut bisa duduk di
gerbong kelas dua padahal karcis yang dia pegang adalah karcis gerbong kelas tiga.
Tokoh “Aku” menjaga kewaspadaannya terhadap si gadis kecil tersebut.
Pada saat kereta api melewati terowongan, si gadis kecil tersebut tiba-tiba membuka
jendela kereta api. Setelah berhasil membuka, dia menatap terus ke depan ke sebuah
tempat penyeberangan kecil di daerah pinggiran sebuah kota. Dan ternyata disana telah
menunggu saudara-saudaranya yang ingin mengucapkan salam perpisahan. Bagaikan
sesuatu dijatuhkan dari surga, diatas kepala saudara-saudaranya itu jatuh beberapa buah
jeruk. Jeruk-jeruk tersebut merupakan hadiah perpisahan yang dilemparkan si gadis kecil
tersebut kepada saudara-saudaranya.
Tokoh “Aku” menyaksikan peristiwa tersebut tanpa mampu bernafas. Dan dia seakan
melihat si gadis desa tersebut menjadi sosok yang berbeda. Saat itulah, tokoh “Aku”
lupa akan perasaan kelelahan dan kesumpekan yang dia rasakan selama ini.
Berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud (Semiun, 2006), saya akan
menganalisis dampak kecemasan neurotik dan kecemasan realistik yang disublimasikan
Akutagawa Ryūnosuke di dalam tokoh “Aku”. Dan, mekanisme pertahanan ego yang
digunakan dalam mengatasi kecemasan tersebut. Freud dalam Semiun (2006)
mengilustrasikan kecemasan adalah suatu keadaan perasaan afektif yang tidak
menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap
bahaya yang akan datang. Sublimasi adalah dorongan-dorongan yang tidak dibenarkan
42
oleh superego tetapi dilakukan juga dalam bentuk yang lebih sesuai dengan tuntutan
masyarakat.
Freud dalam Yusuf dan Nurihsan (2007 : 51) menjelaskan bahwa kecemasan muncul
akibat dari persaingan antar ketiga sistem yaitu id, ego dan superego dalam proses
pendistribusian energi yang menyebabkan ego membentuk mekanisme pertahanan. Oleh
karena itu, saya akan membahas tentang id, ego dan superego pada tokoh “Aku” yang
merupakan sublimasi dari id, ego dan superego Akutagawa Ryūnosuke walaupun yang
akan saya lebih tekankan dalam analisis data ini adalah analisis dampak kecemasan
Akutagawa yang disublimasikan pada tokoh “Aku”.
Dalam karakteristik tokoh “Aku” terlihat bahwa dorongan dari id menginginkan
kehidupannya lebih baik. Id menginginkan perbaikan dari kehidupannya sesuai dengan
kehidupan yang diharapkannya. Maka energi psikis id digunakan dengan cara
memberikan khayalan bahwa tokoh “Aku” berada di dunia lain yang lebih baik. Menurut
analisis saya, dorongan id dalam diri Akutagawa sama seperti yang disublimasikannya
dalam tokoh “Aku” .
Ego mendamaikan dorongan id yang ingin mendapatkan hidup lebih baik dan
dorongan superego yang menentang keinginan mengakhiri hidup dari tokoh “Aku” atau
kehidupan Akutagawa. Maka ego melakukan mekanisme pertahanan ego untuk
menghilangkan kecemasan akibat pententangan dari dorongan id dan superego.
Keinginan tokoh “Aku” atau Akutagawa yang menginginkan kehidupannya segera
berakhir ditentang oleh superegonya. Superego menentang keinginannya untuk segera
mengakhiri hidupnya karena hal tersebut tidak sesuai dengan norma masyarakat pada
umumnya bahwa seseorang boleh mengakhiri hidupnya sendiri.
43
Sejak masa kecilnya, Akutagawa telah mengalami kecemasan neurotik karena tanpa
disadarinya, kecemasan neurotik telah muncul dalam ketidaksadaran disebabkan
perasaannya yang sejak dari kecil tidak pernah merasakan kasih sayang dari ibunya.
Menurut analisis saya, kecemasan realistik dalam diri Akutagawa ditimbulkan karena
ketakutannya bahwa orang lain akan mengetahui keadaan batinnya serta dia selalu
mendapat kritikan-kritikan atas karya-karyanya. Kecemasan-kecemasan tersebut
membuat Akutagawa yang pada akhirnya mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Bagan 3.2
Sublimasi Perasaan Akutagawa Ryūnosuke Dalam Tokoh “Aku”
Perasaan Akutagawa Ryūnosuke
Akutagawa merasakan kehampaan dalam kehidupannya
karena dampak dari kecemasan yang dia alami. Dia
merasa hidupnya tidak berarti, penuh kehampaan.
Disublimasikan
Perasaan tokoh “Aku”
Tokoh “Aku” merasakan kehampaan dalam
kehidupannya. Bagi tokoh “Aku” kehidupannya di
dunia ini tidak ada artinya lagi.
Berdasarkan teori pengkajian fiksi (Nurgiyantoro, 2007), dalam cerpen Mikan,
Akutagawa Ryūnosuke sebagai narator mengambil sudut pandang persona pertama,
gaya “aku”. Dimana Akutagawa sebagai narator yang berada di luar cerita. Berdasarkan
peran dan kedudukan si “aku”, dalam cerpen Mikan terlihat bahwa Akutagawa
menggunakan sudut pandang “aku” tokoh tambahan. Hal tersebut dapat dilihat dari
44
pengisahan tokoh “Aku” yang hanya tampil sebagai saksi terhadap berlangsungnya
cerita yang ditokohi oleh si gadis kecil dari desa.
3.2.1
Analisis
Dampak
Kecemasan
Neurotik
dan
Kecemasan
Realistik
Akutagawa Ryūnosuke yang Tercermin Dalam Tokoh “Aku”
Dalam kutipan dibawah ini, tersirat dampak dari kecemasan neurotik dan kecemasan
realistik yang dirasakan Akutagawa Ryūnosuke yang disublimasikan dalam diri tokoh
“Aku”. Kutipan dibawah ini merupakan suasana hati Akutagawa yang terbentuk dari
dampak kecemasan yang tidak dapat dipertahankan egonya. Freud dalam Bertens (2006,
34) mengungkapkan bahwa, “Ego bukan saja merupakan tempat berlangsungnya
kecemasan, melainkan juga pelaku kecemasan.”
ある曇った冬の日暮である。私は横須賀発上り二等客車の隅に腰を下し
て、ぼんやり発車の笛を待っていた。とうに電灯のついた客車の中には、
珍しく私の外に一人も乗客はいなかった。外を覗くと、うす暗いプラッ
トフォオムにも、今日は珍しく見送りの人影さえ跡を絶って、ただ、檻
に入れられた小犬が一匹、時々悲しそうに、吠え立てていた。これらは
その時の私の心もちと、不思議なくらい似つかわしい景色だった。私の
頭の中にはいいようのない疲労と倦怠とが、まるで雪曇りの空のような
どんよりした影を落していた〔蜜柑 :102〕。
Di suatu malam yang mendung pada musim dingin. Aku duduk di pojok gerbong
kelas dua kereta api jurusan Yokosuka dan menunggu peluit keberangkatan. Di
dalam gerbong tersebut, mengherankan sekali tidak ada penumpang lain selain
aku. Aku mengintip keluar, di peron yang gelap tersebut, hari ini sangatlah
mengherankan tidak ada seorang pengatar pun. Satu-satunya suara hanya berasal
dari seekor anjing yang menyalak yang kadang kala terlihat menyedihkan.
Pemandangan yang aneh ini mirip seperti suasana hatiku. Kepenatan dan
kejenuhan meliputiku dengan kedunguanku, dalam bayang-bayang gelap,
bagaikan langit mendung musim dingin yang kelabu (Mikan : 102).
45
Dalam kutipan diatas, saya menganalisis bahwa keseluruhan perasaan dari tokoh
“Aku” merupakan sublimasi dari perasaan Akutagawa Ryūnosuke yang dia tumpahkan
dalam karyanya Mikan. Keadaan peron yang sepi dan menyedihkan adalah
penggambaran suasana hati Akutagawa.
Sejak masa kecilnya, Akutagawa telah mengalami keadaan kesepian karena sejak
lahir dia tidak pernah merasakan belaian kasih sayang dari orang tuanya. Hal tersebut
disebabkan ibunya, Fuku, menderita penyakit kejiwaan dan ayahnya, Niihara Toshizō,
yang bertemperamen buruk yang tidak memperdulikannya. Hal tersebut berlangsung
selama bertahun-tahun sampai ketika Akutagawa berusia dua belas tahun, dia akhirnya
diadopsi oleh kakak ibunya, Michiaki Akutagawa dan istrinya Tomo. Perasaan
Akutagawa terhadap orangtua kandungnya, dia tuliskan dalam otobiografinya yang
berjudul Daidōji Shinsuke no Hansei (Masa Muda Daidōji Shinsuke, 1924) pada
subjudul “Kemiskinan” melalui kehidupan tokoh Shinsuke.
Still worse, merely because of this shabbiness, he hated the very parents who
gave him birth. He especially hated his father, who was bald and shorter than
Shinsuke himself….He keep a “Diary without Self-Deceit” in imitation of the
writer Kunikida Doppo; on its lined pages he recorded passages like this:
I am unable to love my father and mother. No, this is no true. I do love them, but
I am unable to love their outward appearance. A gentleman should be ashamed
to judge people by their appearance. How much more so should he be ashamed
to find fault with that of his own parents. Still, I am unable to love the outward
appearance of my father and mother… (Rubin, 2006 : 152).
Tetapi lebih buruk karena kemiskinan ini, dia menjadi benci dengan orangtuanya
yang memberikan dia kehidupan. Terutama pada ayahnya yang berkepala botak
dan lebih pendek daripada Shinsuke sendiri….Shinsuke meniru tulisan dari buku
harian Kunikada Doppo yang berjudul “ Buku Harian Ketidakjujuran Sendiri”
yang isinya dikutip sebagai berikut:
Aku tidak sanggup menyayangi ayah dan ibuku. Tidak, ini tidak benar. Aku
menyayangi mereka, tetapi aku kelihatannya tidak sanggup menyayangi mereka.
Sebagai pria sejati, seharusnya aku merasa malu menilai mereka dari penampilan
mereka saja. Harus berapa banyak lagi dia merasa malu akan tindakannya yang
berusaha mencari kesalahan dari orangtua kandungnya. Tetapi, kelihatannya aku
tidak sanggup menyayangi ayah dan ibuku…. (Rubin, 2006 : 152).
46
Menurut analisis saya berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud, perasaan
Akutagawa terhadap orangtua kandungnya yang tertulis pada kutipan otobiografi di atas
adalah dampak dari kecemasan neurotik. Perasaan yang terpendam sejak masa kecilnya
karena perlakuan orangtuanya menyebabkan Akutagawa mempunyai perasaan bahwa
kehidupannya yang kacau ini disebabkan orangtuanya. Karena dalam kutipan
otobiografi diatas tertulis bahwa Akutagawa benci kepada orangtuanya.
Kepenatan dan kejenuhan yang dialami Akutagawa dapat dikatakan merupakan
“endapan” dari perasaan-perasaan emosional yang dia alami sejak masa kecilnya pada
saat kehilangan kasih sayang dari ibunya. Dalam kutipan cerpen Mikan diatas, tidak
tersirat mekanisme pertahanan ego yang digunakan Akutagawa dalam melawan
kecemasan-kecemasannya tersebut. Dia terlihat pasrah akan kehidupannya yang tidak
mungkin diubah lagi.
Menurut analisis saya, kutipan cerpen Mikan di atas juga merupakan bentuk
sublimasi lain dari gambaran peristiwa dalam kehidupan Akutagawa ketika dia
menerima kabar bahwa gurunya, Natsume Sōseki, telah meninggal dunia. Berdasarkan
otobiografinya yang dipublikasikan setelah kematiannya yang berjudul Aru Ahō no Isshō
(Kehidupan Si Tolol, 1927) pada subjudul “Kematian Sang Guru”, Akutagawa
memberikan gambaran peristiwa pada saat dia menerima kabar kematian sang guru.
In the wind after the rain, he walked down the platform of the new station. The
sky was still dark. Across from the platform three or four railway laborers were
swinging picks and singing loudly. The wind tore at the men’s song and at his
own emotions. He felt his cigarette unlit and felt a pain close to joy. “Master
near death,” read the telegram he had thrust into his coat pocket. Just then the
6.00 a.m. Tokyo-bound train began to snake its way toward the station, rounding
a pine-covered hill in the distance and trailing a wisp of smoke (Rubin, 2006 :
192).
47
Dalam terpaan angin setelah hujan, dia (Akutagawa Ryūnosuke) berjalan turun
ke peron di stasiun baru. Langit mendung. Di seberang peron tersebut terdapat
tiga atau empat pekerja yang sedang menyanyi dengan keras sambil mengayun
beliungnya. Angin mendesirkan nyanyian mereka dan perasaannya. Dia
menyalakan rokoknya dan merasa bahwa penderitaan mendekati kedamaian.
“Guru telah meninggal”, dia membaca telegram yang dimasukannya ke dalam
kantong jasnya. Pada pukul 6 pagi, kereta jurusan Tokyo mulai melaju, melintasi
rentetan pohon cemara yang memenuhi bukit dan bekas gumpalan asap dari
kereta api (Rubin, 2006 : 192).
Bagan 3.2.1
Dampak Kecemasan Dalam Diri Akutagawa Ryūnosuke
Kecemasan neurotik dan kecemasan realistik ditahan ego
Akutagawa ke dalam ketidaksadaran dengan mekanisme
pertahanan.
Kecemasan-kecemasan tersebut tidak tinggal diam dan terus
memaksa ego agar mereka dapat masuk ke dalam
kesadaran.
Kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi ego Akutagawa,
memberikan dampak psikologi pada diri Akutagawa yaitu
menginginkan kehidupannya segera berakhir.
Dampak kecemasan yang teranalisis dalam kutipan cerpen Mikan, melalui sublimasi
perasaan dalam tokoh “Aku”, Akutagawa juga merasakan perasaan hampa terhadap
kehidupannya.
3.2.2
Analisis Mekanisme Pertahanan Ego Akutagawa Ryūnosuke Dalam
Mengatasi Kecemasan
Dibawah ini terdapat kutipan dari perasaan batin Akutagawa yang lain yang
disublimasikan pada perasaan tokoh “Aku” dalam cerpen Mikan.
48
この隧道の中汽車と、この田舎者の小娘と、そうしてまたこの平凡な記
事に埋っている夕刊と、――これが象徴でなくて何であろう。私は一切
がくだらなくなって、読みかけてた夕刊を抛り出すと、また窓枠に頭を
靠せながら、死んだように眼をつぶって、うつらうつらし始めた〔蜜
柑 :105〕。
Terowongan kereta, gadis desa itu, dan koran sore yang penuh dengan berita
keseharian, --semuanya adalah pelambang kehidupan yang tak terfahami dan
melelahkan. Semuanya sia-sia. Kuturunkan koran sore yang telah kubaca,
kusandarkan kepalaku ke kaca jendela, dan menutup mata seperti mati seakan
berada di dunia lain (Mikan : 105).
Dalam keadaan suasana hati tokoh “Aku” yang merupakan sublimasi perasaan
Akutagawa dalam kutipan di atas, saya melihat bahwa keadaannya dikendalikan insting
mati. Menurut Freud dalam Semiun (2006 : 77) tujuan insting mati adalah
mengembalikan organisme pada keadaan inorganik. Tujuan terakhir adalah mati karena
keadaan mentalnya tidak dapat lagi dipertahankan ego. Tetapi Freud dalam Bertens
(2006 : 32) mengemukakan bahwa bukan berarti insting mati yang membawa dampak
buruk, tetapi ketidakstabilan antara insting hidup dan insting mati yang menyebabkan
ketidakberesan psikis seseorang.
Dalam kutipan di atas tersirat mekanisme pertahanan ego yang digunakan Akutagawa
dalam melawan insting matinya yaitu supresi. Seperti dalam penjelasan di Bab 2, supresi
adalah menekan sesuatu yang dianggap membahayakan ego ke dalam ketidaksadaran.
Tetapi berbeda dengan represi, yang ditekan dalam supresi adalah hal-hal yang datang
dari ketidaksadaran sendiri dan belum pernah muncul dalam kesadaran Sesuatu yang
ditekan disini adalah insting mati atau keinginannya untuk mati yang berasal dari
ketidaksadaran.
49
Id-nya menginginkan kehidupan si tokoh “Aku” yang merupakan sublimasi perasaan
Akutagawa terhadap kehidupannya agar lebih baik. Sedangkan superego melarang
keinginannya bunuh diri dan untuk mencegah dampak dari kecemasannya, ego
melakukan mekanisme pertahanan yaitu supresi.
Dalam kutipan di atas tersirat juga bahwa ego mendamaikan dorongan dari id dan
superego dengan cara menyediakan khayalan bahwa tokoh “Aku” sebenarnya hidup di
dunia yang berbeda yang sesuai harapannya. Proses pengkhayalan tersebut merupakan
mekanisme pertahanan ego yaitu regresi. Regresi adalah pada saat mengalami stres dan
kecemasan terhadap ego, mungkin individu akan kembali lagi ke tahap perkembangan
yang lebih rendah.
Menurut analisis saya, regresi yang dilakukan Akutagawa adalah dengan cara
mengkhayalkan kembali kehidupannya dahulu dimana pada saat gurunya yaitu Natsume
Sōseki masih hidup. Pada saat itu, karya yang dibuatnya seperti Hana mendapat pujian
dari sastrawan terkemuka tersebut. Pada saat itu juga, Akutagawa mulai dikenal dan
dilirik sebagai penulis muda oleh majalah sastra pada zaman tersebut. Bagi Akutagawa,
gurunya adalah panutannya, karena sejak SMU dia mulai mengagumi sosok Natsume
Sōseki. Dengan meninggalnya Natsume Sōseki pada tahun 1916 (tahun terbitnya Hana),
Akutagawa merasa sangat kehilangan, dimana dia baru mulai terkenal tetapi gurunya
yang sangat dihormatinya meninggalkannya untuk selamanya.
Tokoh “Aku” semula mempunyai perasaan jenuh dan sumpek menghadapi
kehidupannya di dunia ini. Tetapi setelah dia melihat pemandangan si gadis kecil yang
melemparkan beberapa jeruk kepada saudara-saudaranya yang mengucapkan salam
perpisahan, entah kenapa peristiwa tersebut membuat tokoh “Aku” menjadi lupa akan
kehidupannya yang tidak menggairahkan.
50
窓から半身を乗り出していた例の娘が、あの霜焼けの手をつとのばして、
勢いよく左右に振ったと思うと、たちまち心を躍らすばかり暖な日の色
に染まっている蜜柑がおよそ五つ六つ、汽車を見送った子供たちの上へ
ばらばらと空から降って来た。私は思わず息を呑んだ。…暮色を帯びた
町はずれの踏切りと、小鳥のように声を挙げた三人の子供たちと、そう
してその上に乱落する鮮な蜜柑の色と――すべては汽車の窓の外に、瞬
く暇もなく通り過ぎた。が、私の心の上には、切ない程はっきりと、こ
の光景が焼きつけられた。…私はこの時始めて、いいようのない疲労と
倦怠とを、そうしてまた不可解な、下等な、退屈な人生を僅に忘れる事
ができたのである 〔蜜柑 :108-109〕。
Gadis muda itu menjulurkan setengah badannya keluar dari jendela, dia
merentangkan dan dengan penuh semangat melambaikan tangannya ke kirikanan. Tiba-tiba seperti dijatuhkan dari langit, di atas kepala anak-anak kecil itu
jatuh kurang lebih lima atau enam buah jeruk yang dilumuri warna merah
lembayung matahari senja yang hangat. Jantungku berdegup kencang dan
berhenti berdetak beberapa detik….Penyeberangan di pinggiran kota di tengah
senja, tiga anak kecil yang mecicit seperti anak-anak burung, dan jeruk segar
yang jatuh di atas kepala mereka—semua hal di luar kereta api ini dalam sekejap
mata datang dan pergi, menyesakkan napas dan panorama ini tertanam dalam
hatiku….Saat inilah pertama kalinya aku melupakan kehidupanku yang penat
dan membosankan, lupa pada kesumpekkan dan lupa akan kehidupannku yang
tidak mengairahkan (Mikan : 108-109).
Menurut analisis saya, peristiwa si gadis kecil yang melemparkan jeruk kepada
saudara-saudaranya
yang
membuat
tokoh
“Aku”
dapat
melupakan
segala
kesumpekkannya tersebut merupakan sublimasi dari perasaan Akutagawa pada saat itu.
Berdasarkan kutipan di atas, saya menganalisis bahwa Akutagawa melihat sosok
gadis kecil tersebut sebagai istrinya yang tercinta, Fumi, yang dinikahinya pada tahun
1918. Menurut analisis saya, dalam kutipan tersebut tersirat perasaan Akutagawa yaitu
dengan membentuk suatu keluarga, Akutagawa mengharapkan adanya perubahan dalam
hidupnya. Akutagawa berharap dengan adanya Fumi yang dicintainya, kehidupannya
akan lebih baik dan akan mendapatkan keturunan.
51
Berdasarkan gambaran kutipan tersebut, saya menganalisi bahwa Fumi adalah si
gadis kecil yang akan memberikan berkat (buah jeruk) kepada Akutagawa berupa
kebahagiaan dan keturunan (kepada tiga anak tersebut). Dalam otobiografinya yang
berjudul Aru Ahō no Isshō (Kehidupan Si Tolol, 1927) pada subjudul “Hujan”,
Akutagawa menuliskan gambaran perasaannya pada istrinya.
Do I still love this woman? he asked himself. He was in the habit of observing
himself so closely that the answer came as a surprise to him: I do (Rubin, 2006 :
197).
Apakah aku benar mencintai wanita ini? dia bertanya pada dirinya. Dia mencari
jawabannya dalam dirinya dan menemukan jawaban yang mengejutkan dia: Ya,
aku mencintainya (Rubin, 2006 : 197).
Menurut analisis saya, panorama yang dilihat tokoh “Aku” merupakan sublimasi dari
ego Akutagawa yang melakukan suatu mekanisme pertahanan ego yaitu pembentukan
reaksi. Pembentukan reaksi adalah tindakan berupa mengganti suatu impuls atau
perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan lawan atau kebalikannya dalam
kesadaran. Dengan kata lain, ego Akutagawa mengantikan kecemasannya yang berupa
kebencian akan kehidupannya sendiri menjadi bahwa dia tidak mungkin dapat
membenci kehidupannya karena masih banyak orang yaitu orangtua asuhnya terutama
bibinya, Fuki; istrinya, Fumi; teman-temannya maupun orang lain yang menyayanginya
dan menyukai karya-karyanya. Walaupun dalam ketidaksadarannya, Akutagawa sudah
muak akan keadaan masyarakat pada saat itu yang terus berubah karena modernisasi dan
westernisasi yang telah merusak kebudayaan tradisional masyarakat Jepang. Kemuakan
Akutagawa terhadap keadaan masyarakat Jepang pada zaman tersebut akan saya
terangkan dalam analisis pada cerpen Kappa.
52
Bagan 3.2.2
Mekanisme Pertahanan Ego Dalam Diri Akutagawa Ryūnosuke
Kecemasan yang berada dalam ketidaksadaran memaksa
masuk ke dalam kesadaran.
Ego Akutagawa melakukan mekanisme pertahanan untuk mempertahankan
kecemasan dan insting mati tetap berada dalam ketidaksadaran.
Dampak kecemasan yang dialami Akutagawa adalah kecemasan yang semula berada
dalam ketidaksadarannya, mulai masuk ke dalam prasadarnya. Saya menganalisis bahwa
Akutagawa mulai menyadari adanya kecemasan yang berkembang dalam prasadarnya.
Kecemasan-kecemasan tersebut tidak hanya tinggal diam tetapi terus memaksa untuk
dapat masuk ke dalam kesadarannya. Kecemasan yang telah masuk ke dalam kesadaran
Akutagawa, saya bahas dalam analisis cerpen Kappa.
3.3
Analisis Aspek Pemicu Kematian dan Kecemasan Dalam Sosok Akutagawa
Ryūnosuke yang Tersirat Pada Tokoh-Tokoh Dalam Cerpen Kappa
Dalam subbab ini, saya akan menceritakan tentang tokoh “Aku” atau pasien penyakit
jiwa, teori pengkajian fiksi yang dipergunakan dalam cerpen Kappa dan teori
psikoanalisis Sigmund Freud yang digunakan dalam menganalisis aspek-aspek pemicu
kematian dan kecemasan dalam sosok Akutagawa Ryūnosuke.
Cerpen Kappa mengisahkan tentang cerita dari seorang pasien penyakit jiwa nomor
23 pada sebuah Rumah Sakit Jiwa yang biasa diceritakannya kepada setiap orang yang
dijumpainya. Cerita tersebut berkisah tentang perjalanan si pasien yang pernah
mengunjungi negeri kappa. Dalam negeri kappa, tokoh “Aku” atau pasien penyakit jiwa
tersebut melihat dan mempelajari berbagai kehidupan para kappa yang sangat berbeda
53
dengan manusia. Dalam dunia kappa telah mengalami perkembangan teknologi yang
luar biasa dan tatanan masyarakat di dalam dunia tersebut sangatlah berbeda dengan
dunia manusia, dimana kedudukan kaum wanita lebih tinggi daripada kaum pria.
Tidak hanya dalam teknologi, peraturan hukum, agama dan masih banyak hal lagi
dalam dunia kappa yang sangat berbeda dengan dunia manusia. Dalam dunia kappa,
tokoh “Aku” mempunyai banyak teman kappa dan melalui mereka, dia mempelajari halhal tersebut, sampai suatu hari dia memutuskan untuk pulang ke dunia manusia. Tetapi
sekembalinya tokoh “Aku” ke dunia manusia, dia malah ingin kembali ke dunia kappa.
Tetapi berdasarkan cerita tokoh “Aku” ketika dia dalam perjalanan untuk kembali ke
dunia kappa, dia malah ditangkap polisi dan mereka memasukkannya ke dalam Rumah
Sakit Jiwa tersebut.
Berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud (Semiun, 2006), saya akan
menganalisis kecemasan yang disublimasikan Akutagawa Ryūnosuke pada tokoh “Aku”
dan pada beberapa tokoh kappa. Freud dalam Semiun (2006) mengilustrasikan
kecemasan adalah suatu keadaan perasaan afektif yang tidak menyenangkan yang
disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan
datang. Sublimasi adalah dorongan-dorongan yang tidak dibenarkan oleh superego tetapi
dilakukan juga dalam bentuk yang lebih sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Menurut analisis saya, kecemasan yang disublimasikan Akutagawa Ryūnosuke
melalui tokoh “Aku” dan beberapa tokoh kappa adalah kecemasan neurotik, kecemasan
realistik dan kecemasan moral. Dorongan kecemasan neurotik dan kecemasan realistik
yang tidak dapat lagi dipertahankan ego Akutagawa, memunculkan penyakit neurosis
yaitu schizophrenia dan kecemasan moral dalam diri Akutagawa. Schizophrenia
merupakan penyakit otak yang sanggup merusak dan menghancurkan emosi. Menurut
54
psikolog Hawari dalam Sinar Harapan (2001) mengungkapkan karakteristik dari orang
yang menderita schizophrenia sebagai berikut:
Menurut psikolog Prof.Dr.Dadang Hawari, ada dua gejala yang menyertai
schizophrenia yakni gejala negatif dan gejala positif. Gejala negatif berupa
tindakan yang tidak membawa dampak merugikan bagi lingkungannya, seperti
mengurung diri di kamar, melamun, menarik diri dari pergaulan, dan sebagainya.
Sementara gejala positif adalah tindakan yang mulai membawa dampak bagi
lingkungannya, seperti mengamuk dan berteriak-teriak. Dalam dua gejala ini,
penderita mengalami gangguan berpikir dan sering memiliki khayalan serta
halusinasi. Halusinasi tersebut benar-benar dapat didengar, dilihat, bahkan
dirasakan oleh si penderita.
Bagan 3.3
Penyebab Penyakit Neurosis Pada Akutagawa Ryūnosuke
Ego Akutagawa tidak mampu lagi menahan dorongan-dorongan dari
kecemasan neurotik serta kecemasan realistik dan akibatnya
menimbulkan trauma dan kecemasan moral.
Akibat trauma yang berkepanjangan menyebabkan penyakit neurosis
Berdasarkan teori pengkajian fiksi (Nurgiyantoro, 2007), dalam cerpen Kappa,
Akutagawa Ryūnosuke sebagai narator mengambil sudut pandang persona pertama,
gaya “aku”. Dimana Akutagawa sebagai narator yang berada di luar cerita. Berdasarkan
peran dan kedudukan si “aku”, dalam cerpen Kappa, terlihat bahwa Akutagawa
menggunakan sudut pandang “aku” tokoh utama. Hal tersebut dapat dilihat dari
pengisahan tokoh “Aku” yang mengisahkan cerita mengenai kehidupannya selama di
dunia kappa sampai akhirnya tokoh “Aku” kembali ke dunia manusia.
3.3.1
Analisis Aspek-Aspek Kecemasan Sebagai Pemicu Kematian Akutagawa
Ryūnosuke
55
Menurut Freud dalam Hall dan Gardner (1993), trauma ditimbulkan karena
kecemasan tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan efektif. Menurut Freud dalam
Bertens (2006), para pasien penyakit neurosis menderita karena ingatan-ingatan dari
pengalaman tertentu yang mengakibatkan trauma.
Menurut analisis saya, trauma dalam diri Akutagawa Ryūnosuke ditimbulkan karena
dia dikandung ibunya yang dalam keadaan gila. Fuku tidak pernah merawat Akutagawa
sama sekali. Maka, tanpa disadari Akutagawa, dia takut akan menjadi gila seperti ibunya
dan menimbulkan kecemasan neurotik. Seiring perkembangannya menjadi sastrawan
terkemuka, Akutagawa menerima banyak kritikan terhadap karya-karyanya yang
akhirnya menyebabkan kecemasan realistik.
Kecemasan-kecemasan tersebut yang dahulu dapat dimasukkan ke dalam
ketidaksadaran oleh ego yang menggunakan mekanisme pertahanan, akhirnya
memberontak dan masuk ke dalam kesadaran. Dalam hal ini, saya tekankan bahwa
Akutagawa sudah sadar bahwa dirinya gila. Kesadaran Akutagawa akan dirinya yang
mulai menjadi gila, dia tuliskan dalam cerita otobiografinya, Tenkibo (1926), sebagai
berikut:
I often feel as if there as a fortyish woman somewhere—a phantom not exactly
my mother nor this dead sister—watching over my life. Could this be the effect of
nerves wracked by coffee and tobacco? Or might it be the work of some
supernatural power giving occasional glimpses of itself to the real world?
(Rubin, 2006 : 183).
Aku selalu merasa bahwa di suatu tempat ada seorang wanita berumur sekitar
40-an tahun—bukan roh yang mirip ibuku atau kakakku yang sudah
meninggal—mengamati kehidupanku. Apakah kegelisahanku ini akibat efek dari
dari kopi dan rokok? Ataukah ini akibat dari kemampuan supernatural yang
memampukanku melihat sekilas dunia yang sebenarnya? (Rubin, 2006 : 183).
Menurut Freud dalam Bertens (2006), penyakit neurosis dapat menampilkan pelbagai
gejala yang biasa menyertai penyakit-penyakit serius. Pada tahun 1921, Akutagawa
56
dikirim Osaka Mainichi (tempat Akutagawa bekerja) ke Cina dan dia jatuh sakit.
Sekembalinya dia dari dinas kerja tersebut, kondisi kesehatannya semakin menurun.
Akutagawa menjadi kurus dan dia mulai menderita kram perut. Tambahan pula pada
saat itu, Akutagawa juga harus menuliskan laporan perjalanannya ke Cina.
Pada tahun-tahun terakhirnya, Akutagawa mulai dibanyangi penyakit insomnia yang
parah dan terus dihantui ketakutan akan menjadi gila, seperti ibunya. Pada saat-saat
tersebut, Akutagawa mulai mencari gaya penulisan baru tetapi popularitasnya menurun,
sementara tanggung jawab besar pada keluarga juga menjadi beban (Wibawarta, 2005 :
9). Dalam kondisi tersebut, Akutagawa mulai menuliskan otobiografinya.
Dalam cerpen Kappa, terdapat seorang tokoh kappa yang bernama Tock yang
merupakan sublimasi dari sosok Akutagawa. Tock mempunyai penyakit insomnia dan
penyakit jiwa seperti Akutagawa. Dalam kutipan di bawah ini terdapat percakapan tokoh
“Aku” dengan Tock yang memperlihatkan bahwa Tock tenyata menderita penyakit jiwa.
トック:「そうか。じゃやめにしよう。なにしろクラバックは神経衰弱
だからね。……僕もこの二三週間は眠られないのに弱っているのだ。」
僕
:「どうだね。僕らといっしょに散歩をしては?」
トック:「いや、きょうはやめにっしよう。おや!」
トックはこう叫ぶが早いか、しっかり僕の腕をつかみました。しかも
いつか体中に冷汗を流しているのです。
僕
:「どうしたのだ?」
「どうしたのです?」
トック:「なにあの自動車の窓の中から緑いろの猿が一匹首を出したよ
うに見えたのだよ。」〔河童:169〕。
Tock : “Oh begitu. Aku batalkan saja kalau begitu. Craback punya penyakit
lemah saraf, bukan?...Aku sendiri juga lemas karena sudah dua-tiga minggu ini
tidak bisa tidur.”
Aku : “Oh begitu. Bagaimana kalau ikut jalan bersama-sama saja?”
57
Tock : “Tidak, jangan hari ini. Aduh!”
Tock tiba-tiba berteriak dengan kencang dan langsung mencengkeram
tanganku. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Aku : “Tock, ada apa?”
“Kenapa?”
Tock : “Aku merasa melihat seekor monyet hijau menjulurkan lehernya dari
jendela mobil itu.” (Kappa : 169).
Berdasarkan kutipan di atas, dalam diri tokoh Tock tergambarkan sosok Akutagawa
yang juga menderita penyakit insomnia dan penyakit jiwa. Akutagawa meminum
berbagai obat-obatan yang diberikan dokternya. Tetapi ironisnya, pada saat terakhir
Akutagawa menggunakan obat-obatan tersebut untuk bunuh diri. Dalam otobiografinya
yang berjudul Aru Ahō no Isshō (Kehidupan Si Tolol, 1927) pada subjudul “Penyakit”,
Akutagawa menceritakan tentang penyakit insomnia dan ketakutannya.
He suffered an onslaught of insomnia. His physical strength began to fade as
well. The doctor gave him various diagnoses—gastric hyperacidity, gastric atony,
dry pleurisy, neurasthenia, chronic conjunctivitis, brain fatigue…
But he knew well enough what was wrong with him: he was ashamed of himself
and afraid of them—afraid of the society he so despised (Rubin, 2006 : 201).
Dia menderita penyakit insomnia yang parah. Kesehatannya menurun drastis.
Dokternya memberikan berbagai macam diagnosa—penyakit lambung, kelelahan
otak, dan sebagainya...
Tetapi dia tahu benar bahwa apa yang salah dari dirinya: dia malu dengan dirinya
sendiri dan takut dengan mereka—takut akan pandangan hina dari masyarakat
(Rubin, 2006 : 201).
Sama seperti Tock, Akutagawa diduga telah menderita penyakit schizofrenia karena
dia mulai tertarik terhadap mahluk-mahluk aneh seperti kappa. Melalui sublimasi pada
tokoh “Aku” yang menyatakan dirinya pernah pergi dan tinggal di dunia kappa,
merupakan pernyataan bahwa Akutagawa benar menderita penyakit schizophrenia. Di
bawah ini terdapat kutipan dari biografi yang saya dapat untuk mendukung pernyataan
bahwa Akutagawa menderita penyakit schizophrenia.
Fakta lain yang menyatakan bahwa dia menderita kelainan jiwa adalah tulisan
dari psikiater Akutagawa sendiri, yaitu dokter Shizoaki Toshio, dalam bukunya
58
Soseki, Ryunosūke no Seishin Ijo. Dalam buku tersebut dia menjelaskan bahwa
Akutagawa memang mempunyai kelainan jiwa seperti ibunya. Kepribadiannya
yang kaku, penuh rasa takut dan bersalah, rapuh, dan tertutup, adalah
karakteristik utama yang menyerang sebagian besar penderita schizophrenia
(Wibawarta, 2005 : 10).
Kecemasan-kecemasan yang dialami Akutagawa serta penyakit schizophrenia yang
diderita membuatnya mengalami depresi berat. Akibatnya obat-obatan yang dia
dapatkan dari dokternya dijadikan sebagai sarana pelarian. Dalam kutipan biografi di
bawah ini, menjelaskan Akutagawa mulai menjadi gila akibat depresi berat.
Fumi, istrinya menengarai bahwa saat berbaring di kamar, Akutagawa merasa
dinding-dinding kamarnya seakan runtuh. Akutagawa biasanya keluar sebentar
dari kamar lalu kembali lagi dengan gemetaran disertai rasa takut. Saat takut ini
mencapai puncaknya, Akutagawa tidak mau bergeser dari sudut kamar. Satusatunya yang dapat menenangkannya dirinya adalah obat-obatan penenang,
sehingga dia menjadi pencandu obat-obatan sebagai sarana melarikan diri dari
rasa sakit dan depresi yang membelenggunya (Wibawarta, 2005 : 10).
Selain dari aspek penyakit-penyakit kronis, penyakit jiwa (schizophrenia), depresi
berat dan
masalah keuangan keluarganya yang dihadapi Akutagawa, terdapat satu
pemicu lagi yang menyebabkan dia melakukan tindakan bunuh diri. Pemicunya adalah
tindakan bunuh diri yang dilakukan adik iparnya, Nishikawa Yutaka (Januari 1927) dan
teman baiknya, Uno Kōji (Juni 1927) memperbesar hasratnya untuk segera mengakhiri
hidup yang penuh tekanan ini. Dalam otobiografi yang berjudul Aru Ahō no Isshō
(Kehidupan Si Tolol, 1927) pada subjudul “Tahanan”, Akutagawa menjelaskan tentang
temannya, Uno Kōji.
One of his friends went mad. He had always felt close to this man because he
understood far more deeply than anyone else the loneliness that lurked beneath
his jaunty mask. He visited him a few times after the madness struck. “You and I
are both possessed by a demon,” the friend whispered, “the demon of the fin de
siécle.” (Rubin, 2006 : 205).
Salah satu temannya (Uno Kōji) menderita penyakit jiwa. Dia selalu merasa
dekat dengan temannya itu karena dia lebih memahami perasaan sepi temannya
yang tersembunyi di balik wajah periangnya, lebih daripada orang lain. Dia
59
mengunjungi temannya setelah temannya dinyatakan menderita penyakit jiwa.
“Kamu dan aku adalah pasangan yang kerasukan setan,” bisik temannya, “setan
fin de siécle.” (Rubin, 2006 : 205).
Kutipan di bawah ini merupakan kutipan dari tokoh Tock yang melakukan tindakan
bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri menggunakan pistol.
トックの女
:「どうしたのだか、わかりません。ただ何か書いていた
と思うと、いきなりピストルで頭を打ったのです。ああ、わたしはどう
しましょう?qur-r-r-r-r, qur-r-r-r-r」〔これは河童の泣き声です。〕……
チャック
:「もう駄目です。トック君は元来胃病でしたから、それ
だけでも憂鬱になりやすかったのです。」〔河童:183〕。
Wanita Tock : “Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi. Dia sedang menulis
dan tiba-tiba menembak kepalanya sendiri dengan pistol. Ah, ... aku harus
bagaimana? Qur-r-r-r-r, qur-r-r-r-r.” (ini adalah suara tangisan kappa) .................
Chack
: “Sudah terlambat. Tock menderita penyakit lambung, makanya
dia mudah depresi.” (Kappa : 183).
Seperti yang terdapat dalam kutipan di atas, sama seperti Tock, Akutagawa juga
mengakhiri hidupnya karena dia tidak mampu lagi menahan depresi berat yang
dideritanya yang salah satu penyebabnya adalah penyakit kronis (penyakit lambung, dan
lain-lain) yang dideritanya sejak tahun 1921 (pada saat dia ditugaskan ke Cina).
Akutagawa mengakhiri hidupnya dengan meminum obat kaliumsianida (obat
tidur/penenang) secara berlebihan. Di bawah ini terdapat kutipan dari biografi yang saya
dapat menyatakan tindakan bunuh diri Akutagawa.
And in the early hours of 24 July he made his own quietus. As prepared for bed
at about half past one his wife woke up and spoke to him. He told her he had just
taken his usual sleeping drug. He fell asleep reading a Bible. When his wife
awoke again at about six, he was dead. He had taken a fatal dose of
kaliumcyanid (Healey, 2000: 43).
Dan pada tanggal 24 Juli, Akutagawa menenangkan diri. Ketika dia
mempersiapkan diri untuk tidur sekitar pukul setengah dua malam, istrinya
terbangun dan berbicara padanya. Dia mangatakan pada istrinya bahwa dia baru
saja selesai minum obat tidurnya. Dia tertidur sambil membaca sebuah Kitab
60
Sucil. Ketika istrinya bangun kembali sekitar pukul enam pagi, Akutagawa sudah
meninggal. Dia telah meminum kaliumsianida dalam dosis yang fatal (Healey,
2000: 43).
Bagan 3.3.1
Aspek-Aspek Pemicu Kematian Akutagawa Ryūnosuke
Trauma yang dialami Akutagawa, membuatnya menderita penyakit neurosis.
Gangguan jiwa akibat trauma dan berbagai penyebab lainnya, membuat
Akutagawa mengalami depresi berat.
Depresi berkepanjangan membuat Akutagawa tidak dapat lagi menahan
keadaan mentalnya dan mengakhiri hidupnya dengan melakukan tindakan
bunuh diri
3.3.2
Analisis Kecemasan Moral yang Disublimasikan Akutagawa Ryūnosuke
Dalam Cerpen Kappa
Dalam cerpen Kappa, saya menganalisis bahwa terdapat satu lagi kecemasan dalam
diri Akutagawa yang disublimasikan melalui tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut yaitu
kecemasan moral. Freud dalam Semiun (2007) mengemukakan bahwa kecemasan moral
terjadi karena konflik antara ego dan superego atau ketakutan terhadap suara hati.
Dalam dunia kappa, cara kappa melahirkan sangatlah berbeda dengan manusia. Anak
kappa yang akan dilahirkan memiliki kebebasan untuk memilih dilahirkan atau tidak.
けれどもお産をするとなると、父親は電話でもかけるように母親の生殖
器に口をつけ、「お前はこの世界へ生まれてくるかどうか、よく考えた
上で返事をしろ。」と大きいな声で尋ねるのです。バッグもやはり膝を
つきながら、何度も繰り返してこう言いました。それからテエブルの上
にあった消毒用の水薬でうがいをしました。すると細君の腹の中の子は
多少気兼ねでもしてるとみえ、こう少声に返事をしました。
61
子
:「僕は生まれたくはありません。第一僕のお父さんの遺伝は精
神病だけでもたいへんです。その上僕は河童的存在を悪いと信じていま
すから。」
バッグはこの返事を聞いた時、てれたように頭をかいていました。が、
そこにい合わせた産婆はたちまち細君の生殖器へ太い硝子の管を突きこ
み、何か液体を注射しました。すると細君はほっとしたように太い息を
もらしました。同時にまた今まで大きかった腹は水素瓦斯を抜いた風船
のようにへたへたと縮んでしまいました〔河童:129-130〕。
Ketika sang jabang bayi hampir keluar, sang ayah mendekatkan mulutnya ke
rahim sang ibu, sambil bertanya dengan nyaring seperti orang menelepon.
Bag : “Apakah kamu mau dilahirkan ke dunia ini? Pikirkan terlebih dahulu
baru berikan jawabanmu.”. Sambil belutut, Bag terus mengulang pertanyaannya.
Setelah itu dia berkumur menggunakan cairan antiseptik di atas meja. Bayi di
dalam rahim tersebut terlihat agak sungkan lalu menjawab dengan suara perlahan.
Bayi : “Aku tidak mau dilahirkan. Pertama, karena sangat mengerikan
mewarisi keturunan sakit jiwa darimu. Kedua, karena aku yakin bahwa
kehidupan di dunia kappa tidak baik.”
Setelah mendengar jawaban tersebut, Bag merasa malu dan menggaruk-garuk
kepalanya. Bidan segera menyuntikkan sejenis cairan melalui selang kaca besar
ke rahim sang istri. Istri Bag merasa lega dan mengambil nafas panjang.
Bersamaan dengan itu, perut yang tadinya besar tiba-tiba mengecil seperti balon
yang kempis (Kappa : 129-130).
Dalam kutipan di atas, saya menganalisis bahwa kecemasan moral yang
disublimasikan Akutagawa adalah ketakutan bahwa dia tidak dapat merawat anaknya.
Andaikata bahwa anaknya juga mendapatkan kesempatan memilih untuk mau atau
tidaknya mereka dilahirkan ke dunia ini. Tokoh Bag merupakan sublimasi dari
Akutagawa sebagai sosok seorang ayah yang juga sadar bahwa dirinya gila. Dalam
otobiografinya yang berjudul Aru Ahō no Isshō (Kehidupan Si Tolol, 1927) pada
subjudul “Kelahiran”, Akutagawa menuliskan perasaannya ketika kelahiran anak
pertamanya sebagai berikut:
Why did this one have to be born—to come into the world like all the others, this
world so full of suffering? Why did this one have to bear the destiny of having a
father like me?
62
This was the first son his wife bore him (Rubin, 2006 : 195).
Kenapa anak ini dilahirkan—lahir ke dunia seperti yang lainnya, ke dunia yang
penuh dengan penderitaan? Kenapa anak ini harus menanggung takdir
mempunyai ayah sepertiku?
Ini adalah anak pertama yang dilahirkan istrinya (Rubin, 2006 : 195).
Dalam kutipan dari cerpen Kappa diatas, saya menganalisis bahwa ketidak inginan
anak kappa yang dilahirkan ke dunianya juga merupakan sublimasi dari ketidak inginan
Akutagawa untuk dilahirkan ke dunia ini. Andaikata Akutagawa dapat memilih untuk
dilahirkan atau tidak dilahirkan, dia akan memilih untuk tidak dilahirkan daripada
menderita karena mempunyai ibu yang menderita sakit jiwa. Berdasarkan biografi
Akutagawa yang saya dapatkan menuliskan tentang kalimat terakhir dari surat yang
Akutagawa kirimkan kepada temannya, pelukis Oana Ryuichi yang isinya, “Tetapi saya
melihat bahwa saya pada dasarnya adalah anak seorang gila. Sekarang saya merasa
muak terhadap dunia, terutama terhadap diri sendiri.” (Wibawarta, 2004 : 14).
Dalam kutipan di bawah ini menceritakan tentang keadaan setelah meninggalnya
seorang tokoh kappa yang bernama Tock karena bunuh diri.
僕はいまただ泣き声を絶たない雌の河童に同情しましたから、そっと肩
を抱えるようにし、部屋の隅の長椅子へつれていきました。そこには二
歳三歳かの河童が一匹、何も知らずに笑っているのです。僕は雌の河童
の代わりに子どもの河童をあやしてやりました。するといつか僕の目に
も涙のたまるのを感じました。僕が河童の国に住んでいるうちに涙とい
うものをこぼしたのは前にもあとにもこの時だけです〔河童:186〕。
Karena aku merasa simpati dengan kappa betina yang tidak berhenti menangis
itu, pelan-pelan kuletakkan tanganku di bahunya dan membimbingnya ke kursi
panjang di pojok kamar. Di sana ada seorang kappa kecil yang umurnya sekitar
dua-tiga tahun tersenyum tanpa mengetahui apapun. Sebagai ganti kappa betina,
aku membelai anak tersebut. Air mataku menggenang. Selama aku menetap di
dunia kappa, baru kali ini aku menitikkan air mata (Kappa : 186).
63
Seperti yang telah saya jelaskan pada subbab pertama di atas, seorang tokoh kappa
yang bernama Tock merupakan sublimasi dari sosok Akutagawa yang melakukan
tindakan bunuh diri karena depresi berat. Sama seperti Tock, Akutagawa juga
meninggalkan seorang istri, Fumi dan tiga anaknya setelah dia meninggal dunia karena
melakukan tindakan bunuh diri. Tidak hanya istri dan anaknya yang dia tinggalkan tetapi
juga bibinya, Fuki yang sangat menyayanginya.
Melalui tokoh “Aku” yang bersimpati pada kappa wanita yang tidak berhenti
menangis tersebut, saya melihat dalam peristiwa tersebut terdapat sublimasi dari
perasaan Akutagawa. Dalam kutipan tersebut terggambarkan dorongan superego
Akutagawa yang mengkwatirkan keadaan keluarganya setelah dia meninggal nanti.
Tetapi kerena ego Akutagawa tidak dapat menahan lagi keadaan batinnya yang penuh
kecemasan, maka dia melakukan tindakan bunuh diri. Maka untuk terakhir kalinya,
karena dorongan superego, Akutagawa hanya menuliskan permintaan maaf pada
keluarganya melalui surat yang dia tujukan kepada sahabatnya, Kume Masao. Surat
tersebut kemudian dipublikasikan oleh sahabatnya dan tercantum pada otobiografi
Akutagawa yang berjudul Aru Ahō no Isshō (Kehidupan Si Tolol, 1927), sebagai
berikut:
I am living now in the unhappiest imaginable. Yet, strangely, I have no regrets. I
just feel sorry for anyone unfortunate enough to have had a bad husband, a bad
son, a bad father like me. So goodbye, then. I have not tried—consciously, at
least—to vindicate myself here (Rubin, 2006 : 186).
Aku hidup dalam bayang-bayang yang tidak menyenangkan. Namun anehnya,
aku tidak menyesal. Aku hanya merasa bersalah pada orang-orang yang tidak
beruntung mempunyai suami yang buruk, anak yang buruk, ayah yang buruk
sepertiku. Selamat tinggal semuanya. Aku tidak berusaha—aku sepenuhnya
sadar, setidak-tidaknya—memperbaiki kehidupanku sendiri (Rubin, 2006 : 186).
64
Bagan 3.3.2
Kecemasan Moral
Tokoh anak kappa dari seorang
tokoh kappa yang bernama Bag
yang
memilih
untuk
tidak
dilahirkan karena tidak mau
memiliki ayah kerurunan gila.
Tokoh “Aku” yang merasa prihatin
kepada istri dari tokoh Tock yang
ditinggalkan Tock karena bunuh
diri.
Disublimasikan
Superego Akutagawa yang melarang
anak-anaknya untuk tidak dilahirkan.
Tetapi ego Akutagawa merasa tidak
sanggup untuk merawat anakanaknya karena dia sadar dia gila.
Superego dalam diri Akutagawa
yang mengkhawatirkan keadaan
keluarganya yang dia tinggalkan
setelah kematiannya nanti. Tetapi
ego Akutagawa tidak dapat lagi
mempertahankan keadaan batinnya,
akhirnya dia memilih bunuh diri.
Konflik antara ego dan superego
ketergantungan ego pada superego.
karena
Kecemasan Moral
3.3.3
Analisis Kecemasan Realistik yang Disublimasikan Akutagawa Ryūnosuke
Dalam Cerpen Kappa
Kecemasan realistik adalah perasaan tidak menyenangkan dan tidak spesifik terhadap
suatu bahaya yang mungkin terjadi. Dengan kata lain, kecemasan realistik merupakan
rasa takut akan bahaya-bahaya nyata di dunia luar. Menurut Freud dalam Semiun (2007)
kecemasan realistik disebabkan ketergantungan ego pada dunia luar.
65
Dalam cerpen Kappa, Akutagawa menyampaikan beberapa kritikan tentang tatanan
masyarakat Jepang yang telah mengalami perubahan drastis sejak awal zaman Meiji
(1868-1912) sampai zaman Taishō (1912-1926) bahkan sampai saat sekarang ini.
Kritikan-kritikan tersebut merupakan bentuk sublimasi dari kecemasan realistik
Akutagawa terhadap tatanan masyarakat Jepang.
Seperti yang telah saya tuliskan dalam Bab 2, pada zaman Taishō terjadi kekacauan
di segala penjuru Jepang. Hal tersebut merupakan dampak dari Perang Dunia I. Jepang
mengalami perubahan secara drastis akibat modernisasi dan westernisasi. Modernisasi
terjadi tidak hanya dalam bidang industri saja tetapi juga pada bidang pendidikan, seni,
sastra, dan sebagainya.
Dalam cerpen Kappa, Akutagawa lebih banyak menyorot dampak negatif dari
mordenisasi dan westernisasi yang menyebar di Jepang sejak politik sakoku (politik
penutupan negara Jepang dari dunia luar) diakhiri pada tahun 1858. Setelah Jepang
membuka diri pada dunia luar, kekacauan semakin meluas.
Dalam analisis ini, saya hanya akan menekankan gambaran kecemasan realistik
dalam diri Akutagawa yang disublimasikan pada cerpen Kappa. Tetapi dalam analisis
ini, saya hanya mengaitkan gambaran kecemasan realistik dalam diri Akutagawa dengan
gambaran secara umum tatanan masyarakat Jepang yang mengalami perubahan drastis
sejak mengalami modernisasi dan westernisasi.
Dalam kutipan di bawah ini, tertulis perkembangan dalam bidang industri di dunia
kappa yang menyebabkan banyaknya pekerja yang dipecat.
実際まだゲエルの話によれば、この国では平均一か月に七八百種の機械
が新案され、なんでもずんずん人手を待たずに大量生産が如何な行かな
われるそうです。従ってまた職工の解雇されるのも四五万匹を下らない
66
そうです。そのくせまだこの国では毎朝新聞を読んでいても、一度も罷
業という字に出会いません〔河童:149-150〕。
Kenyataannya menurut Gael, di negri ini rata-rata setiap bulan ditemukan 700
hingga 800 buah mesin baru, barang-barang diproduksi dalam jumlah banyak
dengan cepat dengan jumlah pekerja yang semakin sedikit. Karena itu, setiap
bulannya setiap 40 ribu hingga 50 ribu kappa pekerja menjadi penggangguran.
Anehnya, walaupun setiap pagi aku membaca koran tidak sekalipun membaca
kata “mogok” (Kappa : 149-150).
Dalam kutipan di atas, saya menganalisis kecemasan realistik yang disublimasikan
Akutagawa adalah kritikan dari dampak negatif akibat perkembangan di dunia industri
yang menyebabkan berkembangnya penggangguran. Hal tersebut mengakibatkan rakyat
semakin menjadi miskin dan menimbulkan berbagai kekacauan. Pada tahun 1918 terjadi
penjarahan terhadap toko-toko beras akibat desakan kebutuhan rakyat yang miskin yang
tidak mampu membeli beras.
Pada tahun 1918 para istri nelayan di propinsi Toyama menuntut agar
menurunkan harga beras dan terjadilah penjarahan terhadap toko-toko beras.
Kekacauan ini meluas ke seluruh Jepang, gerakan buruh dan gerakan petanilah
yang mengakibatkan kekacauan tersebut berkembang (Surajaya, 2001 : 134).
Dalam kutipan di bawah ini digambarkan keadaan kappa pekerja yang berada di
bawah kedudukan kappa penguasa. Dan kappa pekerja diperlakukan seenaknya.
ゲエルはふだんよりも得意そうに顔中に微和笑をみなぎらせたまま、ち
ょうどそのころ天下を取っていた Quorax 党内閣のことなどを話した。…
ゲエル
:「クオラックス党を支配しているものは名高い政治家のロッ
ペです。…」
…………
ゲエル :「わたしの話したいのはロッペのことです。ロッペはクオラ
ックス党を支配している、そのまたロッペを支配しているものは PouFou 新聞の(この『プウ.フウ』という言葉もやはり意味のない間投詞
です。もし強いて訳すれば、『ああ』とでも言うほかはありません。)
社長のクイクイです。が、クイクイも彼自身の主人というわけにはゆき
67
ません。クイクイを支配しているものはあなたの前にいるゲエルで
す。」
僕
:「けれども――これは失礼かもしれませんけれども、プウ.
フウ新聞は労働者の味かたをする新聞でしょう。その社長のクイクイも
あなたの支配を受けているというのは、……」
ガエル
:「プウ.フウ新聞の記者たちはもちろん労働者の味かたです。
しかし記者たちを支配するものはクイクイのほかはありますまい。しか
もクイクイはこのゲエルの後援を受けずにはいられないのです。」〔河
童 :153-155〕。
Gael terlihat lebih ceria dari biasanya, dengan senyuman yang mengembang, dia
mulai membicarakan tentang Kabinet Quorak yang sedang berkuasa pada saat
itu. ....
Gael : “Partai Quorak dipimpin oleh politis terkenal, Loppe. …”
………..
Gael : “Yang ingin kuceritakan adalah tentang Loppe. Loppe pemimpin Partai
Quorak ternyata dikendalikan oleh Quiqui pemimpin redaksi surat kabar Pou Fou
(kata Pou Fou merupakan tanda seru, yang terpaksa diartikan “ah!”). Tetapi,
Quiqui bukanlah penguasa atas dirinya. Akulah yang berada dihadapanmu, yang
mengendalikan dirinya.”
Aku : “Tapi….mungkin ini tidak sopan, tapi bukankah surat kabar Pou Fou
berpihak kepada para buruh. Lalu, kau katakan bahwa pemimpinnya, Quiqui di
bawah kendalimu…”
Gael : “Para wartawan surat kabar Pou Fou memang berpihak kepada para buruh.
Tetapi, mereka harus tunduk dalam pimpinan Quiqui. Kenyataannya, Quiqui
sendiri tidak dapat berbuat apa-apa tanpa bantuanku.” (Kappa :153-155).
Berdasarkan kutipan di atas, saya menganalisis bahwa Akutagawa hendak
menggatakan bahwa karena perubahan drastis dalam masyarakat Jepang berakibat
munculnya kaum kaya dan kaum miskin. Selalu saja kaum miskin yang menjadi korban
yang dirugikan demi keuntungan kaum kaya. Dampak negatif dari modernisasi juga
membawa perubahan dalam moral masyarakat Jepang. Saya menganalisis bahwa
Akutagawa hendak menekankan bahwa moral adalah tergantung siapa yang berkuasa,
dan dapat berubah sesuai dengan keinginan penguasa. Moral yang baik adalah yang
sesuai dengan keinginan penguasa, atau pemerintah.
68
Pada saat berlangsungnya perang dunia, Jepang menggantikan negara-negara
Eropa untuk mengekspor barang-barang komoditi industrinya ke Asia, dan
menyongsong berkembangnya industri ringan dan industri berat yang termasuk
dalam industri petrokimia yang tidak pernah sampai sekarang berkembang
seperti saat itu. Akibatnya muncullah kapitalis-kapitalis besar yang disebut
dengan orang kaya baru yang memperoleh untung yang luar biasa. Di satu pihak,
harga-harga barang kebutuhan pokok sehari-hari terutama beras semakin
meningkat, dan orang-orang yang menderita dalam kehidupan miskin menjadi
banyak ( Surajaya, 2001 : 134).
Dalam kutipan di bawah ini, Akutagawa menyampaikan bahwa modernisasi dan
westernisasi tidak hanya mempengaruhi bidang industri saja tetapi juga berpengaruh atas
berubahnya tingkah laku masyarakat Jepang.
実際また河童の恋愛は我々人間の恋愛とはよほど趣を異にしています。
雌の河童はこれぞという雄の河童を見つけるが早いか、雄の河童をとら
えるのにいかなる手段も顧みません、一番正直な雌の河童は遮二無二雄
の河童を追いかけるのです。現に僕は気違いのように雄の河童を追いか
けている雌の河童を見かけました。いや、そればかりではありません。
若い雌の河童はもちろん、その河童の両親や兄弟までいっしょうになっ
て追いかけるのです。雌の河童こそみじめです。なにしろさんざん逃げ
まわったあげく、運よくつかまらずにすんだとしても、二三か月はとこ
についてしまうのですから〔河童:137-138〕。
Pada kenyataanya, percintaan di antara kappa sangatlah berbeda dengan manusia.
Bila kappa betina tertarik dengan kappa jantan, dia akan mengusahakan segala
cara agar mendapatkan kappa jantan incarannya. Kappa betina yang polos akan
berusaha keras menguber kappa jantan. Hanya kappa betina yang bertingkah
seperti itu. Tidak hanya itu. Kappa betina yang masih muda juga dibantu
orangtua dan saudara-saudaranya dalam mengejar kappa jantan. Meski ada
kappa jantan yang bernasib baik dapat lolos dari kejaran kappa betina, akhirnya
dia pasti tersungkur di lantai dan harus beristirahat selama dua sampai tiga bulan
di ranjang (Kappa : 137-138).
Gambaran umum kedudukan wanita Jepang adalah berada di bawah pria, akan tetapi
dalam cerpen Kappa, Akutagawa menampilkan hal yang sebaliknya. Dalam kutipan di
atas, Akutagawa menggambarkan kappa betina digambarkan sebagai kappa yang agresif,
69
jahat, dan tidak adil, sedangkan pada umumnya kappa jantan dilukiskan sebagai korban
mereka. Saya menganalisis bahwa Akutagawa hendak mengatakan bahwa akibat
modernisasi yang telah terjadi pada saat itu, emansipasi wanita mulai bermunculan.
Dalam kutipan di bawah ini, digambarkan kehidupan para kappa yang memeluk
banyak agama.
が、この時はトックの死にある感動を受けていたためにいったい河童の
宗教はなんであるかと考え出したのです。僕はさっそく学生のラップに
この問題を尋ねてみました。
ラップ
:「それは基督教、仏教、モハメット教、拝火教なども行なわ
れています。まず一番勢力のあるものはなんといっても近代教でしょう。
生活教とも言いますがね。」〔『生活教』という訳語は当たっていない
かもしれなません。この原語は Quemoocha です。Cha は英吉利語の ism
という意味に当たるでしょう。Quemoo の原形 quemal の訳は車に『生き
る』というよりも『飯を食べったり、酒を飲んだり、交合を行かなった
り』する意味です。〕〔河童:188-189〕。
Karena pada saat itu aku teringat sajak Tock, aku jadi terpikir tentang agama
kappa. Aku meminta penjelasan dari kappa pelajar, Lap.
Lap : “Para kappa ada yang memeluk agama Kristen, Budha, Islam, Zoroaster,
juga agama lainnya. Tetapi yang paling berpengaruh adalah agama Modernisme
atau disebut juga sebagai seikatsukyō, yakni pemujaan terhadap kehidupan.
Mungkin tidak ada kata lain yang dapat menjelaskan kata seikatsukyō, yang
memiliki akar kata dari Quemoocha. ‘Cha’ memiliki arti mirip dengan akhiran...
“isme”, sedangkan “queoo” berasal dari kata “quemal” yang berarti ‘hidup’ atau
lebih tepat berarti ‘makan nasi’, ‘minum alkohol’, ‘bersetubuh’, dan
sebagainya...” (Kappa : 188 -189).
Modernisasi juga mempengaruhi bidang agama dengan membawa banyak ajaran
agama yang belum dikenal masyarakat Jepang. Akibatnya agama yang dianut
masyarakat Jepang menjadi tidak pasti yang mana. Akutagawa sendiripun tidak
menganut agama apapun. Dapat dikatakan bahwa Akutagawa memeluk kepercayaaan
seikatsukyō, walaupun menjelang ajalnya, Akutagawa terlihat lebih sering membaca
70
Alkitab, tetapi dia sendiri menyatakan bahwa dia tidak mempercayai Tuhan. Hal tersebut
tertulis dalam otobiografinya yang berjudul Haguruma (Roda Gigi, 1927) pada subjudul
“Cahaya Merah” sebagai berikut:
“How have you been lately?” he asked.
“Same always, a bundle of nerves.”
“Drugs are not going to help you, you know. Wouldn’t you like to become a
believer?”
“If only I could…”
“It’s no hard. All you have to do is believe in God, believe in Christ as the son of
God, and believe in the miracle that Christ performed.”
“I can believe in the devil.”
“Then why not God? If you believe in the shadow, you have to believe in the light
as well, don’t you think?”
“There’s such a thing as darkness without light, you know.”
“Darkness without light?”
I could only fall silent. Like me, he too was walking through darkness, but he
believed that if there is darkness there must be light. His logic and mine differed
on this point alone. Yet surely for me it would be an unbridgeable gulf.
“But there must be light. Miracles prove it. Even now miracles occur every once
in a while.”
“Yes, the devil’s miracles perhaps…”
“What is all this talk about the devil?”
I felt tempted to tell him what I had experienced over the past year or so, but I
was afraid it might go from him to my wife and children and I would end up like
my mother in an insane asylum (Rubin, 2006: 227).
“Bagaimana perasaanmu belakangan ini?” tanyanya.
“Tidak berubah, tetap dalam perasaan gelisah.”
“Obat-obatan tidak dapat menolongmu, kau tahu itu. Maukah kau menjadi
pengikut-Nya?”
“Jika aku bisa...”
“Ini tidak sulit. Kau hanya perlu mempercayai Allah, percaya pada Yesus Anak
Allah, dan percayalah mukjijat yang diberikan-Nya.”
“Aku bisa mempercayai iblis.”
“Kenapa tidak dengan Allah? Jika kau mempercayai adanya kegelapan, maka
kau juga dapat mempercayai adanya cahaya, bukankah begitu?”
“Tidak ada kegelapan tanpa cahaya, kau tahu itu.”
“ Kegelapan tanpa cahaya?”
Aku hanya terdiam. Sepertiku, dia juga berjalan di kegelapan, tetapi dia percaya
bahwa di dalam kegelapan ada cahaya. Pikirannya dan aku hanya berbeda pada
hal ini. Namun bagiku, hal inilah yang menjadi jurang pemisah yang dalam.
“Ya, mungkin mukjijat dari iblis…”
“Kenapa kau selalu berbicara tentang iblis?”
71
Aku ingin memberitahukan apa yang kualami selama beberapa tahun lalu, tetapi
aku takut dia mendatangi istri dan anakku dan aku akan berakhir seperti ibuku di
dalam Rumah Sakit Jiwa (Rubin, 2006: 227).
Akutagawa hanya hendak menyatakan bahwa modernisasi dan westernisasi hanya
membawa dampak negatif yang lebih besar dari pada dampak positifnya. Sampai hal
agamapun mendapat dampak negatif. Menurut analisis saya, hal yang sebenarnya
ditekankan Akutagawa dalam cerpen Kappa adalah modernisasi dan westernisasi hanya
merusak kebudayaan tradisional Jepang dan membawa masyarakatnya hidup dalam
penderitaan yang hidup tanpa moral yang baik lagi.
Bagan 3.3.3
Kecemasan Realistik Akibat Modernisasi Dalam Masyarakat Jepang
Perubahan drastik yang terjadi dalam masyarakat Jepang karena modernisasi
dan westernisasi tidak hanya berdampak positif tetapi berdampak negatif.
Ego Akutagawa mensublimasikan kritikannya terhadap tatanan masyarakat
Jepang pada saat itu ke dalam cerpen Kappa.
Ketergantung ego dari dunia luar menyebabkan ego
berupaya menahan dorongan-dorongan dari dunia
luar dengan melakukan mekanisme pertahanan ego.
Kecemasan Realistik
Melihat hasil analisis berdasarkan korpus data, maka dapat ditarik suatu simpulan
bahwa kecemasan neurotik Akutagawa Ryūnosuke telah muncul sejak kecil,
berkembang terus sampai dia dewasa. Selain itu, akibat egonya yang terpengaruh oleh
lingkungan luar dan superego, memunculkan kecemasan realistik dan kecemasan moral.
Dorongan-dorongan dari kecemasan yang tidak dapat ditahan ego serta penyakitpenyakit kronis yang diidap Akutagawa menyebabkannya mengalami depresi berat.
Depresi berat yang berkepanjangan menyebabkan Akutagawa menderita penyakit
72
schizophrenia. Pada akhirnya, Akutagawa melakukan tindakan bunuh diri karena
ketidakmampuannya menahan keadaan batinnya yang tersiksa akibat dorongan dari
kecemasannya, terutama dari kecemasan neurotik yaitu takut menjadi gila seperti
almahum ibunya, Fuku.
73